Pages

Kategori

Diberdayakan oleh Blogger.

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Paling Dilihat

26 Mei 2020

Tujuan Manusia: Kebebasan dan Pemaknaan Hidup

KB 3: Tujuan Manusia: Kebebasan dan Pemaknaan Hidup 

A. Kebebasan Manusia 
Begitu esensial dan konkrit unsur kebebasan bagi eksistensi atau adanya manusia di dunia, sehingga kebebasan dalam peziarahan hidup manusia menjadi suatu yang secara terus-menerus diperjuangkan. Kebebasan merupakan suatu nilai yang dijunjung tinggi oleh manusia. Manusia akan mungkin merealisasikan dirinya secara penuh jika ia bebas. Gagasan kebebasan semacam ini selalu aktual dalam hidup manusia selain karena kebebasan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari diri manusia, juga karena kebebasan itu dalam kenyataannya merupakan suatu yang bersifat "fragile"; kebebasan bersifat sensitif dan rapuh. Manusia adalah makhluk yang bebas, namun sekaligus manusia adalah makhluk yang harus senantiasa memperjuangkan kebebasannya. Aktualitas ide kebebasan manusia juga didasarkan pada kenyataan adanya perkembangan arti kebebasan sesuai dengan situasi dan kondisi manusia. 

Arti dan makna kebebasan pada jaman sekarang tidak bisa disempitkan hanya pada pengertian kebebasan dalam masyarakat kuno atau masyarakat pra-modern. Pada jaman penjajahan kebebasan mungkin lebih diartikan sebagai keadaan terlepas dari penindasan oleh penjajah. Namun pada masyarakat modern, di mana bentuk penjajahan terhadap kebebasan juga semakin berkembang, misalnya dengan adanya gerakan modernisasi dan industrialisasi yang membawa perubahan yang radikal pada cara berpikir manusia, arti kebebasan juga mempunyai makna yang lebih luas. Kebebasan pada jaman sekarang bukan hanya berarti sekedar terbebas dari keadaan terjajah, namun mungkin lebih berarti bebas untuk mengaktualkan diri di tengah-tengah perkembangan jaman ini. 

Keinginan manusia untuk hidup dengan bebas merupakan salah satu keinginan insani yang sangat mendasar, karena itu Louis Leahy memasukan prinsip kebebasan ini dalam salah satu dimensi esensial pribadi manusia. Faktor esensial kebebasan manusia inilah yang menyebabkan dan mendorong banyak tokoh untuk menyoroti masalah kebebasan, sehingga muncul bermacam-macam anggapan, pendapat dan pandangan yang sering kali berbeda satu sama lain. Dalam arti tertentu adanya perbedaan konsep itu dapat dimengerti karena kebebasan itu sendiri bukanlah sesuatu yang mutlak. Kebebasan mempunyai karakter relative atau dibatasi oleh situasi dan kondisi manusia. Sebagai sesuatu yang relatif atau bersituasi, kebebasan manusia selalu bercampur dengan ketidakbebasan. Maka manusia sebenarnya tidak pernah bebas secara penuh. Namun situasi dan kondisi manusia itu pada dasarnya bukan hanya merupakan faktor yang membatasi dan menghalangi kebebasan manusia, tetapi juga serentak merupakan faktor yang memungkinkan kebebasan. Alasannya adalah karena di luar situasi yang sifatnya terbatas itu manusia tidak mungkin dapat bertindak. Sebagai eksistensi, manusia selalu termuat dalam situasi-situasi tertentu, yaitu situasi-situasi batas. Sebagai eksistensi, manusia dapat menemukan dan merealisasikan dirinya sendiri di dunia ini. Oleh karena itu dalam kebebasan insani selalu terkandung berbagai aspek atau komponen yang saling mempengaruhi dan yang saling terjalin satu sama lain. 

Kata kebebasan sering diartikan sebagai suatu keadaan tiadanya penghalang, paksaan, beban atau kewajiban. Seorang manusia disebut bebas kalau perbuatannya tidak mungkin dapat dipaksakan atau ditentukan dari luar. Manusia yang bebas adalah manusia yang memiliki secara sendiri perbuatan-perbuatannya. Kebebasan adalah suatu kondisi tiadanya paksaan pada aktivitas individu. Manusia disebut bebas kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan demikian kata bebas menunjuk kepada manusia sendiri yang mempunyai kemungkinan untuk memberi arah dan isi kepada perbuatannya. Hal itu juga berarti bahwa kebebasan mempunyai kaitan yang erat dengan kemampuan internal definitif penentuan diri, pengendalian diri, pengaturan diri dan pengarahan diri. 

A Freedom is self-determination, pengertian itu dapat dikatakan bahwa kebebasan merupakan sesuatu sifat atau ciri khas perbuatan dan kelakuan yang hanya terdapat dalam manusia dan bukan pada binatang dan benda-benda. Kebebasan yang nampak secara sekilas dalam binatang pada dasarnya bukan kebebasan sejati. Mereka dapat menggerakkan tubuhnya ke mana saja, tetapi semuanya itu sebenarnya bukan berasal dari diri binatang itu sendiri. Gerakan binatang bukanlah hasil dorongan internal diri binatang. Kebebasan mereka adalah kebebasan sebagai produk dorongan-dorongan instingtualnya. Dengan istilah instingtual dimaksudkan tidak adanya peran akal budi dan kehendak. Dalam arti itu sebenarnya di dalam diri binatang-binatang tidak ada kebebasan. Di dalam diri binatang tidak ada self-determination atau kemampuan internal untuk menentukan dirinya. Sedang manusia mempunyai kemampuan untuk berhasrat dan berkeinginan. Ia mempunyai kecenderungan dan kehendak yang bebas. Manusia mempunyai kemampuan memilih. Karena itu dikatakan bahwa manusia adalah tuan atas perbuatannya sendiri. Kebebasan sejati hanya terdapat di dalam diri manusia karena di dalam diri manusia ada akal budi dan kehendak bebas. Kebebasan sebagai penentuan diri mengandaikan peran akal budi dan kehendak bebas manusia. 

Pengertian kebebasan yang diuraikan di atas merujuk pada pengertian kebebasan secara umum. Dalam merenungkan arti dan makna kebebasan kita tidak akan berhenti pada arti yang paling umum dan mendasar itu. Oleh karena itu pada bagian ini kita akan memperdalam arti kebebasan dalam arti-arti yang lebih khusus. Kebebasan dalam arti khusus ini tidak berarti lepas dari pengertian bebas secara umum. Kebebasan dalam arti khusus merupakan pengkhususan arti dari kebebasan dalam pengertian umum. Secara ringkas Louis Leahy membedakan tiga macam atau bentuk kebebasan, yaitu kebebasan fisik, kebebasan moral dan kebebasan psikologis: 

Kebebasan fisik artinya adalah tidak adanya halangan atau rintangan-rintangan eksternal yang bersifat fisik atau material. Dalam konteks ini orang menganggap dirinya bebas jika ia bisa bergerak ke mana saja tanpa ada rintangan-rintangan eksternal. Ia dikatakan bebas secara fisik jika tidak dicegah secara fisik untuk berbuat sesuai dengan apa yang ia kehendaki. Seorang tahanan di sebuah sel tidak mempunyai kebebasan dalam arti ini karena dia secara fisik dibatasi. Dia akan bebas jika masa tahanannya sudah lewat. Dengan demikian paksaan di sini berarti bahwa fisik manusia diperalat oleh faktor eksternal untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang tidak ia kehendaki atau yang ia kehendaki. Jangkauan kebebasan fisik juga ditentukan oleh kemampuan badan manusia sendiri. Jangkauan itu terbatas. Namun demikian hal itu tidak mengurangi melainkan justru mencirikan kebebasan manusia. Contohnya: bahwa manusia tidak bisa terbang itu bukan merupakan pengekangan terhadap kebebasannya. Hal itu semata-mata disebabkan oleh kemampuan badan manusia yang terbatas. Jadi sekali lagi yang dimaksud paksaan terhadap kebebasan fisik ini adalah pengekangan atau paksaan yang datang dari luar diri manusia. Misalnya dari lembaga atau orang lain.  

Kebebasan dalam pengertian ini bisa terdapat pada manusia atau binatang, bahkan pada tumbuhan atau objek yang tidak berjiwa. Yang membedakan manusia dengan binatang dan benda-benda itu adalah aspek kehendak akal budi manusia. Binatang menggerakkan tubuhnya sendiri, namun akar dari gerakan itu adalah dorongan instingtualnya. Sedangkan manusia bergerak karena dorongan kehendaknya. 

Kebebasan fisik adalah bentuk kebebasan yang paling sederhana atau dangkal. Karena bisa saja orang yang tidak bebas secara fisik, namun ia merasa sungguh-sungguh bebas. Banyak para pejuang keadilan dan kebenaran pernah ditahan atau bahkan disiksa, namun mereka tetap merasa bebas. Tiadanya kebebasan fisik bisa disertai kebebasan dalam arti yang lebih mendalam. Kebebasan fisik sebenarnya bukan merupakan kebebasan yang sejati. Ia hanya merupakan bentuk kebebasan dalam pengertian yang sangat sederhana. Namun demikian kebebasan ini mempunyai makna yang esensial dan nilai yang positif. Kebebasan fisik dapat menjadi sarana untuk mencapai kebebasan yang sejati. 

Kebebasan psikologis berarti ketiadaan paksaan secara psikologis. Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan untuk mengarahkan hidupnya. Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan dan kemungkinan untuk memilih pelbagai alternatif. Yang men-ciri-khas-kan kemampuan itu adalah adanya kehendak bebas. Karena itulah Louis Leahy mengidentikkan kebebasan psikologis dengan kebebasan untuk memilih atau kebebasan berkehendak. Kebebasan memilih atau kebebasan berkehendak sering pula dikatakan dalam arti kebebasan untuk mengambil keputusan berbuat atau tidak berbuat, atau kebebasan untuk berbuat dengan cara begini atau begitu, atau merupakan kemampuan untuk memberikan arti dan arah kepada hidup dan karya atau merupakan kemampuan untuk menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai yang terus-menerus ditawarkan kepada manusia. 

Kebebasan psikologis berkaitan erat dengan hakikat manusia sebagai makhluk yang berakal budi. Manusia bisa berpikir sebelum bertindak. Ia menyadari dan mempertimbangkan tindakan-tindakannya. Karena itu jika orang bertindak secara bebas maka itu berarti ia tahu apa yang dilakukan dan tahu mengapa melakukannya. Jadi kebebasan berkehendak mengandaikan kesadaran dan kemampuan berpikir maupun kemampuan menilai dan mempertimbangkan arti dan bobot perbuatan sebelum manusia membuat suatu keputusan untuk bertindak. Dalam kebebasan psikologis kemungkinan memilih merupakan aspek yang penting. Konsekuensinya adalah tidak ada kebebasan jika tidak ada kemungkinan untuk memilih. Orang dikatakan bebas dalam pengertian ini jika ia mempunyai kemungkinan untuk melakukan tindakan A dan bukan B. Kemungkinan untuk memilih adalah aspek yang penting, namun demikian aspek ini tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai kebebasan psikologis. Mengapa? Karena pemilihan bukan merupakan hakikat kebebasan psikologis. Hakikat kebebasan psikologis adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. 

Berbeda dari kebebasan fisik, kebebasan psikologis tidak bisa secara langsung dibatasi dari luar. Orang tidak bisa dipaksa untuk menghendaki sesuatu. Misalnya dalam peristiwa perampokan. Seandainya saya terpaksa menyerahkan semua uang dan harta yang saya punyai, penyerahan itu saya lakukan atas kehendak saya. Dalam arti itu saya masih bebas secara psikologis, karena saya masih mempunyai kemungkinan untuk memilih. Dan (mungkin) saya tidak bebas secara fisik, karena dalam perampokan itu saya diancam untuk dibunuh. Secara tidak langsung bentuk paksaan psikologis adalah pembatasan-pembatasan psikis yang memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Kebebasan psikologis juga dapat dihalangi dengan mengkondisikan orang sehingga tidak mungkin melakukan beberapa kegiatan tertentu. Misalnya seorang ibu yang mengharuskan anaknya untuk langsung pulang setelah jam sekolah selesai. Ibu itu membatasi kebebasan psikologis anaknya karena dia tidak memberi kemungkinan pada anaknya untuk melakukan tindakan lain selain langsung pulang setelah sekolah. 

Kebebasan moral adalah ketiadaan paksaan moral hukum atau kewajiban. Kebebasan moral tidak sama dengan kebebasan psikologis. Meskipun demikian antara keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis. Sebaliknya jika ada kebebasan psikologis belum tentu ada kebebasan moral. Contohnya: suatu ketika saya berjalan dan melihat sebuah dompet tergeletak di pinggir jalan tanpa pemilik. Pikiran yang muncul saat itu adalah saya mengambil dompet itu dan memang kemudian saya mengambil dompet itu. Namun setelah mengambil dompet itu saya masih menimbang lagi: dompet ini saya kembalikan pada pemiliknya atau saya mengambil dan tidak memberikan pada pemiliknya. Dalam hal ini saya mempunyai kemungkinan atau kebebasan untuk memilih. Saya mempunyai kebebasan psikologis. Di lain pihak dalam tindakan saya itu tidak ada kebebasan moral. Alasannya adalah tindakan saya secara moral tidak bisa dipertanggungjawabkan. Saya telah mengambil barang orang lain yang bukan hak saya. 

Contoh lain: Seorang wanita yang disandra yang harus memilih di antara dua pilihan, yaitu menyerahkan semua perhiasannya atau diperkosa. Pada akhirnya perempuan itu memilih untuk menyerahkan semua perhiasannya. Dalam pengertian kebebasan psikologis perbuatan perempuan itu adalah bebas karena perbuatan itu keluar dari kehendaknya. Dalam pilihannya itu ia menjadi penentu atas dirinya sendiri. Meskipun perempuan itu bebas secara psikologis, namun ia tidak bebas secara moral. Alasannya ialah karena perempuan itu memilih secara terpaksa. Ia dipaksa secara moral. Ia berhadapan dengan dua pilihan dilematis yang sama-sama mempunyai konsekuensi negatif. Perempuan itu menjadi tidak berdaya. Jadi dalam pengertian inilah kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis. Dan sebaliknya jika ada kebebasan psikologis belum tentu ada kebebasan moral. Dan karena itulah kebebasan moral harus dibedakan dengan kebebasan psikologis dan kebebasan fisik. Kebebasan moral dapat dibatasi dengan pemberian larangan atau pewajiban secara moral. Orang yang tidak berada dibawah tekanan sebuah larangan atau berada dibawah suatu kewajiban adalah bebas dalam arti moral. 

Kebebasan adalah suatu keadaan atau situasi di mana manusia benar-benar merasa diri sebagai seorang pribadi yang berdiri sendiri dan tidak diasingkan dari diri sendiri. Kebebasan adalah keadaan dan cara hidup yang stabil, yaitu suatu keadaan bebas, yang olehnya manusia menjadi tuan atas hidupnya sendiri dan memiliki diri sendiri. Di dalam keadaan seperti itu diandaikan manusia bisa mengambil dan mengatur tanggung jawabnya sendiri. Kondisi ideal seperti itu dalam kenyataan ternyata belum dialami oleh manusia secara penuh. 

Manusia masih harus berhadapan dengan pelbagai hal yang tidak sempurna. Manusia masih harus berhadapan dengan aneka pembatasan-pembatasan yang selalu menghalangi proses pengembangan hidupnya. Manusia masih harus berusaha mendobrak segala macam rintangan yang membelenggu kebebasan dirinya. Bahwa dalam kenyataan manusia senantiasa harus berjuang melawan bentuk-bentuk rintangan dan paksaan yang membatasi kebebasannya, merupakan tanda bahwa kebebasan manusia merupakan sesuatu yang senantiasa menuntut penyempurnaan. 

Pada hakikatnya kebebasan itu selalu terbatas, karena manusia tergantung pada lingkungan fisik dan sosial. Misalnya, orang yang buta pasti tidak bisa menikmati keindahan seni lukis karena ia tidak mempunyai kemampuan visual. Seorang tuna rungu tidak bisa menikmati sebuah musik yang paling indah. Kenyataan adanya keterbatasan-keterbatasan dalam hidup manusia itu pada akhirnya melahirkan pandangan yang mengatakan bahwa kebebasan hanyalah sebuah slogan-slogan kosong dan wishful thingking yang tidak mungkin dapat dicapai oleh semua orang. Maka pertanyaan-pertanyaan kritis juga muncul, yaitu: Apa manusia sungguh bebas? Benarkah manusia adalah tuan atas tindakannya sendiri? Benarkah manusia mempunyai kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri? Bukankah dalam kenyataan kita sering berhadapan dengan pengalaman yang membuat kita berpikir bahwa kita tidak bebas? Bukankah kita sering berjumpa dengan pembatasan-pembatasan dan rintangan-rintangan yang membuat kita tidak bebas? Kalau demikian apakah kebebasan itu hanyalah sebuah teori yang sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan hidup manusia? Atau apakah kebebasan itu hanyalah sebuah ideal hidup manusia yang selama hidupnya harus diperjuangkan namun tak pernah akan tercapai secara penuh? 

Pertanyaan-pertanyaan kritis di atas secara langsung mendorong orang untuk membuktikan adanya kebebasan dalam hidup manusia. Atas pelbagai cara banyak pemikir yang mencoba membuktikan kebebasan. Kita sendiri, sebagai makluk yang bereksistensi sebenarnya juga ditantang untuk meyakinkan diri kita sendiri dan orang lain, bahwa kita adalah bebas. Bagaimanapun kita menginginkan kepastian. Namun ternyata tidak mudah memulai usaha untuk membuktikan adanya kebebasan, apalagi kebebasan tidak mungkin dibuktikan secara matematis. Pembuktian selalu mengandaikan adanya jarak antara subyek yang meneliti dan obyek yang harus diteliti. Dalam hal ini kita akan menemukan kesulitan jika kita harus membuktikan kebebasan dalam diri manusia. Alasannya, adalah karena antara kebebasan dan eksistensi manusia itu terdapat hubungan yang sangat erat, sehingga seakan-akan tidak mungkin manusia melepaskan diri dari padanya. Karena pembuktian secara matematis tidaklah mungkin, maka satu-satunya pembuktian yang bisa ditempuh adalah refleksi kritis. 

Louis Leahy menempuh tiga jalan, yaitu dengan argumen persetujuan umum, argumen psikologis, dan argumen etis. Tiga jalan itu ditempuhnya terutama dalam kaitannya dengan pemikiran kritis para pemikir modern dan para ahli psikologi yang mengingkari adanya kebebasan dalam diri manusia. Sistem pemikiran mereka dikenal dengan sebutan Determinisme. Mereka berkata bahwa pada dasarnya manusia itu tidak bebas. Segala perbuatan manusia dalam hidupnya telah ditentukan. Kata determinisme berasal dari bahasa Latin determinare yang berarti menentukan batas atau membatasi. Determinisme merupakan tesis filosofis yang menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini, termasuk manusia, ditentukan oleh hukum sebab akibat. Tidak ada hal yang terjadi berdasarkan kebebasan berkehendak atau kebebasan memilih. Juga di dunia ini tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan. Artinya sesuatu hal itu bisa terjadi karena telah ditentukan untuk terjadi. Dengan tesis itu aliran determinisme hendak mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada kebebasan. 

Determinisme menyatakan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor yang dapat ditunjukkan secara jelas. Faktor-faktor itu berupa motif yang tidak disadari, pengaruh masa kecil, pengaruh keturunan, pengaruh kultural dan lain sebagainya. Aliran ini berpendapat bahwa seandainya manusia mengingat dan mengetahui apa saja yang dapat mempengaruhinya maka semua tindakan manusia dapat diperhitungkan sebelumnya. Kalau sekarang manusia belum bisa menentukan dan belum mengetahui apa yang akan dilakukan dalam menghadapi hal-hal tertentu yang mungkin akan terjadi, itu karena manusia belum mempunyai pengetahuan yang cukup mendalam tentang hal-hal yang menentukan tindakantindakannya. Atau bahkan karena manusia tidak mau memperhatikan sebab-sebab yang menentukan setiap tindakan mereka. 

Dalam dunia ilmu pengetahuan kata determinisme itu mendapat pelbagai bentuk istilah. Istilah-istilah itu muncul karena aneka ragam pandangan dan pertimbangan dalam pemikiran. Dalam pembahasan ini kita akan mencoba melihat sekilas bentuk-bentuk istilah itu. Di antaranya adalah determinisme universal, behaviorisme, fatalisme, dan predestinasi. Determenisme universal merupakan teori tentang alam semesta. Teori ini mengatakan bahwa setiap peristiwa yang terjadi di alam semesta merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan dari sebab-sebab yang mendahului. Sebab-sebab itu adalah hukum alam. Determinisme universal juga berpendapat bahwa bentuk jagat raya ini merupakan hasil determenasi dari hukum-hukum alam yang ada di dalamnya. Behaviorisme berasal dari kata behaviour yang berarti tingkah laku. Behaviorisme merupakan aliran dalam psikologi yang mempelajari perilaku manusia. Secara khusus pusat perhatian mereka adalah perilaku manusia yang nampak. Di dalamnya mereka berusaha mengamati hubungan antara stimulus (rangsangan) dan respon (tanggapan). John B. Watson menyatakan bahwa kepribadian manusia merupakan hasil pembentukan kebiasaan dan kemampuan, terutama yang ditentukan oleh orang lain. Pembiasaan ini pada akhirnya menciptakan refleks kondisional, yaitu suatu pola tingkah laku yang terjadi secara spontan karena pembiasaan terus-menerus. Fatalisme berasal dari kata Latin fatum yang berarti nasib atau takdir. Fatalisme adalah paham yang menyatakan bahwa semua kejadian alam semesta dan hidup manusia berada di bawah kuasa penuh suatu prinsip mutlak, yaitu nasib. Menurut aliran ini manusia tidak memiliki kebebasan karena semua pilihannya sudah ditentukan oleh nasib. Sementara predestinasi berasal dari bahasa Latin praedestinare yang berarti meramal atau menebak. Predestinasi mengajarkan bahwa peristiwa yang sudah terjadi, sedang terjadi, dan yang akan terjadi telah ditentukan untuk terjadi oleh Allah. Dalam konteks teologi aliran ini mengajarkan bahwa keselamatan atau penghukuman manusia, mulai dari awal sampai akhir, sudah ditentukan oleh Allah. Dengan gagasannya itu penganut predestinasi menyatakan bahwa Allah memiliki kekuasaan absolut. Allah menentukan bukan hanya disposisi final manusia tetapi juga seluruh peristiwa hidup manusia. Dan karena itulah predestinasi juga termasuk salah satu aliran determinisme. 

B. Manusia Berdistansi dan Kesadaran terhadap Tindakan Etis 
Kelakuan yang bersifat bebas dapat dibedakan dari kelakukan yang determinis karena manusia hadir pada dirinya sendiri. Kehadiran pada diri sendiri juga merupakan syarat mutlak untuk bertindak bebas. Justru karena manusia berdistansi kepada dirinya sendiri, maka ia dapat dengan sengaja mengikuti kecenderungan-kecenderungan yang ikut menarik ke kiri atau kanan. Manusia berdistansi terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terbuka, mempertimbangkan pro dan kontra, kemudian memutuskan. 

Manusia tahu tentang kecendurungan naluri, pengaruh lingkungan dan pengaruh pendidikan, maka manusia bersikap kritis terhadap semua pengaruh itu. Manusia tahu dari pengalaman bahwa ia dapat menahan diri walaupun lapar dan haus yang tidak terkira, karena motivasi rasional yang dimilikinya. Manusia bersikap kritis terhadap segala sesuatu yang irasional meskipun tindakannya sering irasional dan kurang dewasa. 

Manusia harus memilih, karena ia dapat menyeleweng. Dengan memilih yang sungguh-sungguh baik, manusia menuju pada kemerdekaan yang sejati. Manusia tetap berada di tengah perjalanan dan tidak pernah selesai. Aku sungguh aku, tetapi aku juga belum aku. Suatu pertentangan yang bersifat paradoksal. Keharusan dalam kehendak direalisasikan secara bebas. Keharusan etis menyatakan diri kepadaku sebagai suatu imperatif kategoris, bukan hipotesis. Suatu imperatif kategori berdasar pada suatu syarat: jika ingin pandai berbahasa Inggris, maka harus rajin belajar. Imperatif kategoris bersifat mutlak dan berdasar pada kodrat diri manusia sendiri. Keharusan kategoris diwajibkan secara mutlak, namun tidak terlaksana secara paksa, melainkan secara bebas. Keharusan kodrati dihayati sebagai imperative kategoris. Hubungan mereka lebih dihayati sebagai suatu seruan yang mengharapkan jawaban. 

Kewajiban diketahui dan dilaksanakan dengan bebas. Ia tetap dapat bertindak bertentangan dengan kewajibannya. Keharusan kodrati mendorong namun tidak memaksa. Manusia merealisasi keharusan kodrati menuju diri yang sejati secara bebas. Dengan kebebasan pilihan dimaksud bahwa manusia bebas untuk dapat memilih antara ini atau itu, untuk bertindak ataupun tidak bertindak. Kehendak sendiri harus menentukan. Namun tidak ada apapun di luar kehendak yang menetukan, tidak ada paksaan. Seluruh penentuan berasal dari kehendak sendiri. 

Kebebasan pilihan ada dalam diri saya sebagai seorang manusia. Setiap saat saya harus menentukan diri saya sendiri. Sayalah yang bertanggung jawab. Kebebasan ada dalam diri saya tanpa jasa saya sendiri karena itu adalah anugerah. Aku dipanggil untuk semakin bebas dari segala penghalang menuju pada diriku yang sejati. Kebebasan sejati adalah panggilan sekaligus perjuangan. Kebebasan sejati direalisasikan melalui kebebasan pilihan. 

Semakin manusia dengan suara ketetapan terarah pada kebaikannya yang sejati, maka kebebasan pilihan semakin kurang berfungsi. Pertentangan antara kebebasan pilihan dan sejati merupakan hal yang khas dari manusia, karena dalam kebebasan hadir suatu pilihan keharusan kodrati yang mewajibkan secara etis. Hakikat kebebasan menjadi tidak sekedar bebas untuk memilih namun penentuan diri (self determination). 

Keharusan dalam kebebasan menyatakan diri kepada manusia dalam suatu imperatif kategoris, yang kemudian harus ditaati dan mengandung kewajiban secar etis. Dengan mengetahui diri sendiri (being man), otomatis diketahui juga keharusan yang etis untuk menjadi manusia (having to be man). Intuisi etis dihayati dalam hati nurani, dengan pengetahuan yang bersifat implisit: yang baik harus dibuat dan yang jahat harus dihindari). Kewajiban etis bersifat mutlak dan tanpa syarat. Kewajiban bersifat objektif dan rasional karena berdasar pada kenyataan dan dapat dipertanggungjawabkan. Ia juga bersifat universal dan berlaku bagi semua orang dalam keadaan dan kondisi yang sama. Hubungan suara hati dengan tindakan buka suatu aksi-reaksi melainkan hubungan yang bersifat personal bagaikan seruan dan jawaban. 

Diri kenyataan adalah norma segala perbuatan etis. Hal ini berlaku untuk pergaulan manusia dengan alam juga, di mana manusia tidak dapat memperlakukan alam dengan semena-mena. Dalam kebebasan kita berhadap dengan suatu keharusan yang mesti ditaati. Manusia harus merealisasikan dirinya dengan bebas memilih. Ikatan itu bukannya sesuatu yang datang dari luar diriku, melainkan dari kenyataan diriku sendiri. Kenyataan ini menyatakan diri kepada budi sebagai kenyataan yang benar dan objektif. Budi memperlihatkan kenyataan itu kepada kehendak sebagai suatu kebaikan yang menarik. 

Manusia adalah makhluk yang bebas, bersifat otonom, namun bukanlah roh murni, melainkan terjelma. Faktisitasku membatasi sekaligus membuka kemungkinan-kemungkinan yang riil. Manusia sudah dan belum, mahluk yang dinamis dan menyejarah. Dalam kemungkinan-kemungkinan yang terbuka aku tidak boleh memilih dengan sewenang-wenang. Aku dipanggil untuk menjadi manusia yang baik dan taat kepada keharusan yang hadir dalam kebebasan. Aku menjadi aku. Inilah seruan etis yang bersifat imperatif kategoris, suatu keharusan dalam kebebasan. Kebebasan bersifat paradoksal, karena manusia adalah makhluk yang berelasi maka merealisasikan diri artinya membangun dunia dan membuat dunia menjadi dunia yang baik untuk kebersamaan manusia. 

Keterarahan menuju diriku bukan merupakan determinisme meskipun diakuui bahwa ada persamaan. Dalam segala makhluk terdapat keterarahan yang khas menuju kebaikan yang khas. Keterarahan menuju diri yang sejati pada manusia bersifat aktif dan pelaksanaannya bersumber pada diri sendiri. Manusia tetap menjadi manusia yang baik, tetapi manusia tetap berada di tengah perjalanan, sehingga menjadi manusia adalah panggilan yang tidak pernah selesai secara definitif.