Pages

Kategori

Diberdayakan oleh Blogger.

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Paling Dilihat

26 Mei 2020

Eksistensi Manusia : Manusia secara Antropologis dan Sosiologis

KB 2 : Eksistensi Manusia : Manusia secara Antropologis dan Sosiologis 

A. Hakikat Manusia secara Filosofis 
Beberapa pandangan dasar tentang manusia yang berasal dari beberapa filsuf, antara lain: Aristoteles misalnya, menganggap manusia adalah animal rationale, karena, menurutnya, ada tahap perkembangan yang harus dilalui oleh mahkluk hidup. Di samping itu, Aristoteles juga menyatakan bahwa manusia adalah zoon poolitikon atau makhluk social dan "makhluk hylemorfik", terdiri atas materi dan bentuk-bentuk. Ernest Cassirer berpendapat bahwa manusia adalah animal simbolicum, yaitu ialah binatang yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan, bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol. Hakikat manusia kemudian bukan lagi sekedar susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manusia, akan tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Anton Bakker misalnya menggunakan istilah "antropologi metafisik" untuk memberi nama kepada macam filsafat ini, yang bentuknya dapat berupa: 
  • Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom dan sebagainya. Hal ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme. 
  • Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan. 
  • Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh. 
  • Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah. 

Pendapat lain menyatakan bahwa, untuk mengetahui apa hakikat manusia itu, dapat dilihat dari dua hal berikut, yaitu kesadaran diri dan kesadaran universal: 
  1. Kesadaran Diri merupakan esensi atau hakikat manusia adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri, bersifat illahi, tidak bertempat di dalam badan bersifat sederhana, mempunyai kemampuan mengetahui dan menggerakkan badan, diciptakan dan bersifat kekal pada dirinya. 
  2. Kesadaran Universal di mana tubuh adalah susunan inti materi yang setiap saat berubah dan berganti. Terbatasnya kesadaran bahwa badan bukan lagi sekedar tangan, kaki, kepala. Akan tetapi berubah meluas menjadi kesadaran universal, yaitu kesadaran yang tidak ada batas. Bahwa wujud badan ini tidak lagi sesempit dulu, aku tidak lagi sebatas kepala, tangan, dan kaki saja. Akan tetapi badanku adalah angin yang bergerak, atom-atom yang bertebaran serta bergantian saling tukar dengan benda-benda yang lain, badanku adalah butiran-butiran zarrah yang saling mengikat dengan tumbuhan, binatang bumi serta dengan angkasa yang maha luas. Kesadaran ini akan memudahkan mengidentifikasikan siapa diri sebenarnya. Setelah tahu esensi badan ini. Yaitu kesadaran hakiki yang menggerakkan dan mengatur alam semesta. 

Secara filosofis, manusia dapat dipahami sebagai: 
  1. Makhluk yang selalu bertanya. Manusia merasa heran, bertanya dan mencari jawaban atas berbagai pertanyaan yang dialaminya. Jenis pertanyaan akan menentukan jenis ilmu yang dapat membantunya untuk memperoleh jawaban. 
  2. Makhluk eksentris. ‘Aku’ menemukan diri ‘terarah keluar’. Pusatku terletak di luar aku (makhluk yang eksentris-keluar). Aku menemukan diri di dunia dan terarah pada sesama. Dalam penemuan dengan sesama “aku menjadi aku”. Tidak pernah ada aku tanpa dunia dan tidak ada aku tanpa sesama. 
  3. Makhluk paradoksal. Paradox mengandung dua kebenaran yang bertentangan. Paradox berhubungan dengan kekhasan kedudukan manusia di dunia ini. Manusia termasuk dalam dunia alam, namun sekaligus bertransendensi terhadapnya. Manusia bebas dan terikat, otonom dan tergantung, individu dan person, duniawi dan ilahi, rohaniah dan jasmaniah. Manusia adalah makhluk yang paradoksal. 
  4. Makhluk dinamis. Dinamika manusia berhubungan dengan segala relasinya yang eksistensial. Manusia menuju diri yang sejati dengan memurnikan relasi dengan sesamanya. Manusia menuju keunikannya sebagai pribadi dengan mempererat hubungannya dengan Tuhan dinamika manusia berbeda dengan dinamika khas di dunia alam (karena dalam dunia alam berlaku determinisme). 
  5. Makhluk multidimensional. Manusia bersifat jasmaniah, termasuk dunia makhluk hidup dan bersifat rohaniah. Ia berpikir dan berefleksi, manusia adalah makhluk multidimensional. Manusia memang suatu kestauan, tetapi di dalam kesatuan itu ditemukan berbagai dimensi dengan tingkatan ontologis yang berbeda. 

Berdasarkan pemahaman di atas, manusia merupakan makhluk yang ultidimensi, paradoksal dan dinamis. Tidak mengherankan, kemudian pandangan atas manusia yang muncul sangat beraneka ragam. Manusia adalah makhluk yang historis, tidak pernah lepas dari konteks kebudayaan, dst. Keanakaragaman pandangan tentang manusia dekat dengan definisi yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu manusia adalah animal rationale, sementara filsafat saat ini lebih menekankan manusia sebagai animal loquens (mahkluk yang berbicara), di mana keunggulan manusia sangat nyata dalam hal bahasa, termasuk kemudian dapat dihubungkan dengan a symbolic animal, manusia sebagai mahkluk yang menggunakan simbol bermakna dalam komunikasi dengan sesamanya, dan masih banyak lagi yang lain. 

B. Eksistensi Manusia 
Eksistensialisme berpangkal pada pandangan manusia sebagai eksistensi, sebagai cara yang khas untuk berada di tengah-tengah makhluk lainnya. Pandangan ini tidak memilah kedudukan manusia secara berat sebelah, misalnya hanya sebagai materi saja ataupun hanya sebagai yang spiritual saja. Materialism ditolak eksistensialisme karena bertentangan dengan pengalaman asasi manusia. Manusia tidak selalu menjadi objek, karena manusia adalah sekaligus subjek. Sehingga paham materialism yang melihat manusia sebagai materi belaka menjadi kotradiktif. Sementara paham spiritulisme dianggap berat sebelah karena manusia merupakan subjek yang berpikir. Spiritualisme menghapus dunia sebagai suatu kenyataan, padahal tidak ada subjek tanpa dunia. Manusia dan dunia tidak dapat dipisahkan. 

Manusia bukan objek semata, tetapi merupakan subjek, sehingga dari antara segala mahkluk ciptaan Tuhan, hanya manusia yang dapat bereksistensi. Eksistensi manusia hanya dapat terjadi jika manusia menemukan dirinya sebagai aku yang keluar dari dirinya. Tidak ada aku yang terpisah dari dunia. Keluar diri berhubungan dengan hakikat manusia dan pengalaman asasi manusia atau fait primitive (faktum induk), di mana segala pengalaman yang lain adalah bersifat sekunder dan baru dapat dipahami dengan kembali ke pengalaman asasi ini. Manusia selalu dalam konteks manusia di dunia. Manusia sebagai subjek hadir pada diri sendiri, tetapi ia hanya hadir pada diri sendiri dengan hadir pada yang lain. 

Salah satu cara untuk mendekati eksistensi sebagai pengalaman asasi adalah dengan mengintensifkan kehadiranku pada diriku yang berbadan. Aku berada di dunia melalui badanku. Badanku menjadi badan manusiawi karena kesatuannya dengan aku. Jika suatu saat badanku sakit, maka akulah yang sakit. Jika kakiku mendaki gunung, akulah yang mendaki gunung, dst. Badanku dan aku adalah identik, tetapi sekaligus tidak identik. Wajahku tampak ramah, padahal sebenarnya aku marah. Aku dapat menyembunyikan diriku (manusia dapat bersandiwara). 

Semua yang dikatakan tentang dunia mengandaikan kehadiran manusia. Suatu dunia di mana manusia tidak hadir, tidak mungkin ada. Dunia selalu manusiawi dan menunjuk pada manusia. Tempat sampah, rumah, kota, desa, mobil, semuanya menunjuk pada manusia. Gunung yang tinggi atau laut yang indah mengandaikan manusia yang berbadan, manusia yang melihat dan mendengarnya. Tanpa manusia tidak ada dunia yang indah, hijau ataupun harum. 

Dunia tanpa manusia tidak dapat dipikirkan sebab dunia itu mengandaikan manusia yang berpikir. Suatu dunia tanpa manusia tidak dapat dibayangkan sebab dunia itu mengandaikan manusia yang membayangkannya. Suatu dunia tanpa manusia tidak bisa dibicarakan sebab dunia itu telah mengandaikan manusia yang berbicara. Dunia kita selalu dunia manusia dengan arti manusiawi dan dengan warna manusiawi. 

C. Pengalaman Eksistensial Manusia 

1. Manusia sebagai mahkluk budaya 

1.1. Hakikat Manusia sebagai mahkluk budaya 
Akal budi merupakan pemberian sekaligus potensi dalam diri manusia yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Anugerah Tuhan akan akal budilah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Akal adalah kemampuan berpikir manusia sebagai kodrat alami yang dimiliki. Berpikir merupakan perbuatan operasional dari akal yang mendorong untuk aktif berbuat demi kepentingan dan peningkatan hidup manusia. Jadi, fungsi dari akal adalah berpikir. Karena manusia dianugerahi akal maka manusia dapat berpikir. Kemampuan berpikir manusia juga digunakan untuk memcahkan masalah-masalah hidup yang dihadapinya. 

Budi berasal dari bahasa Sansekerta budh, yang artinya akal. Jika merujuk pada Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, budi merupakan perpaduan akal dan perasaan dan dapat membedakan baik-buruknya sesuatu. Budi dapat pula berarti tabiat, perangai, dan ahklak. Sutan Takdir Alisyahbana misalnya mengungkapkan bahwa budilah yang menyebabkan manusia mengembangkan suatu hubungan yang bermakna dengan alam sekitarnya dengan jalan memberikan penilaian objektif terhadap objek dan kejadian. 

Dengan akal budinya, manusia mampu menciptakan, mengkreasi, memperlakukan, memperbaharui, memperbaiki, mengembangkan dan meningkatkan sesuatu yang ada untuk kepentingan hidup manusia. Contohnya manusia dapat membangun rumah, membuat aneka makanan, menjahit pakaian, membuat alat transportasi, sarana komunikasi, dll. Hewan pun dapat membuat rumah namun rumah hewan tidak pernah mengalami perkembangan, karena sama dari dulu sampai saat ini. Manusia dengan kemampuan akal budinya bisa memperbaharui dan mengembangkan sesuatu untuk kepentingan hidupnya. 

Kepentingan hidup manusia adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, yang secara sederhana dapat dibedakan menjadi: 
  1. Kebutuhan yang bersifat kebendaan atau jasmani atau biologis, contohnya makanan, minuman, dll. 
  2. Kebutuhan yang bersifat rohani atau mental atau psikologi, contohnya kasih sayang, pujian, perasaan aman, kebebasan, dll. 

Gambar 1: Piramida Kebutuhan Maslow 

Menurut Abraham Maslow, kebutuhan manusia pertama-tama diawali dari kebutuhan fisiologis atau yang paling mendesak, kemudian secara bertahap beralih ke kebutuhan tingkat di atasnya sampai tingkat tertinggi, yaitu kebutuhan aktualisasi diri. 

Dengan akal budi manusia memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga mampu mempertahankan serta meningkatkan derajatnya sebagai mahkluk yang tinggi bila dibanding dengan mahkuk lainnya. Manusia tidak sekedar homo, tetapi human, sehingga manusia dapat mengembangkan sisi kemanusiaannya. 

Kemanusiaan berarti hakikat dan sifat-sifat khas manusia sebagai mahkluk yang tinggi dan martabatnya. Kemanusiaan menggambarkan ungkapan akan hakikat dan sifat yang seharusnya dimiliki oleh mahkluk yang bernama manusia. Kemanusiaan merupakan prinsip atau nilai yang berisi keharusan atau tuntutan untuk berkesesuaian dengan hakikat dari manusia. 

Hakikat manusia bisa dipandang secara segmental atau parsial, misalnya homo economicus, homo faber, homo socius, zoon politicon, dsb. Namun, hakikat ini tidak dapat menjelaskan hakikat manusia secara utuh. Hakikat manusia harus dipandang secara utuh, di mana manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna dengan dibekali akal budi. Manusia memiliki harkat dan derajat yang tinggi. Karena manusia memiliki harkat dan martabat yang tinggi, maka hendaknya mempertahankan hal tersebut, untuk itulah prinsip kemanusiaan menjadi penting untuk dibahas. Prinsip kemanusiaan mengandung arti adanya penghargaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia yang luhur itu. Semua manusia luhur, karena itu tidak harus dibedakan perlakuannya berdasarkan perbedaan suku, ras, keyakinan, status sosial ekonomi, asal-usul, dsb. 

1.2. Manusia dan Kebudayaan 
Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu buddayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (akal atau budi), merupakan hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal. Budaya merupakan hasil budi dan daya dari manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Dalam bahasa Belanda, cultuur sama dengan culture, mengolah tanah atau bertani. Dengan demikian, budaya ada hubungannya dengan kemampuan manusia dalam mengolah sumber-sumber kehidupan, dalam hal ini pertanian. 

Kebudayaan juga sekaligus sebagai pengetahuan (episteme), pilihan hidup (eksistensi), perasaan (estetika), kemauan (etika), serta praktek komunikasi (relasi) manusia. Kata culture juga kadang diterjemehkan sebagai kultur dalam Bahasa Indonesia. 

Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Andreas Epink memandang kebudayaan sebagai keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur-struktur social, religious, dll, ditambah lagi dengan segala sesuatu pernyataan intelektual dan artisitik menjadi ciri khas suatu masyarakat. Edward B. Taylor memandang kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan-kemampuan lainnya yang didapatlan seseorang sebagai anggota masyarakat. 

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat diperoleh pengertian kebudayaan sebagai system pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan bersifat abstrak. Kebudayaan kemudian diwujudkan dalam bentuk benda-benda yang diciptakan manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dll., yang kesemuany ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakatnya. 

J.J. Hoeningman membagi wujud kebudayaan menjadi gagasan, aktivitas dan artefak: 
  • Gagasan merupakan wujud kebudayaan yang bersifat abstrak, tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak di kepala atau di alam pikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut. 
  • Aktivitas atau tindakan merupakan wujud kebudayaan yang berpola dari masyarakat. Wujud ini sering disebut dengan sistem sosial, yang terdiri atas aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan. Bersifat konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dapat diamati dan didokumentasikan. 
  • Artefak merupakan wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas pembuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan didokumentasikan. 
Koentjaraninggrat membagi kebudayaan menjadi tiga yaitu suatu kompleks ide, gagasan, nilai, norma, dsb. Suatu kompleks aktivitas atau tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Suatu benda-benda hasil karya manusia. 

Terdapat tujuh unsur kebudayaan yang dapat dijumpai dalam setiap kebudayaan di manapun dan kapanpun berada, yaitu: system peralatan dan perlengkapan hidup, sistem mata pencaharian, system kemasyarakatan, bahasa, kesenian, system pengetahuan dan sistem religi. 

Manusia merupakan pencipta kebudayaan karena hanya manusia yang dianuherahi akal dan budi daya. Dengan akal dan budi daya manusia dapat menciptakan dan mengembangkan kebudayaan. Terciptanya kebudayaan adalah hasil interaksi manusia dengan segala isi alam raya ini. Hasil interkasi binatang dengan alam sekitar tidak menghasilkan kebudayaan, tetapi hanya menghasilkan pembiasaan saja. Karena manusia adalah pencipta kebudayaan maka manusia adalah makhluk berbudaya sebagai ekspresi eksistensi manusia di dunia. Dengan kebudayaannya, manusia mampu menampakkan jejak-jejaknya dalam panggung sejarah dunia. 

1.3. Memanusiakan manusia dan problematika kebudayaan 
Manusia tidak hanya menjadi homo, tetapi harus meningkatkan diri menjadi human. Manusia harus memiliki prinsip, nilai, dan rasa kemanusiaan yang melekat dalam dirinya. Manusia memiliki perikemanusiaan, tetapi binatang tidak memiliki peribinatangan. Perikemanusiaan yang mendorong perilaku baik sebagai manusia. Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk senantiasa menghargai dan menghormati harkat dan martabat manusia lainnya. Memanusiakan manusia adalah tindakan tidak menindas sesama, tidak menghardik, tidak bersifat kasar, tidak menyakiti dan perilaku-perilaku buruk lainnya. 

Memanusiakan manusia berarti pula perilaku memanusiakan antar sesama. Memanusiakan manusia memberi keuntungan bagi diri sendiri maupun orang lain. Bagi diri sendiri akan menunjukkan harga diri dan nilai luhur pribadinya sebagai manusia. Sedangkan bagi orang lain akan memberikan rasa percaya, rasa hormat, kedamaian dan kesejahteraan hidup. Sebaliknya, sikap tidak manusiawi terhadap manusia lain hanya akan merendahkan harga diri dan martabatnya sebagai manusia yang sesungguhnya sungguh mulia. Sedangkan bagi orang lain sebagai korban tindakan yang tidak manusiawi akan menciptakan penderitaan, kesusahan, ketakutan, perasaan dendam, dsb. Sejarah membuktikan bahwa perseteruan, pertentangan dan peperangan yang terjadi di berbagai belahan dunia adalah karena manusia belum mampu memanusiakan manusia lain dan sekelompok manusia menindas bangsa lain. Penjajahan adalah contoh perilaku bangsa menindas bangsa lain yang tidak sesuai dengan perikemanusiaan. 

Sikap perilaku memanusiakan manusia didasarkan atas prinsip kemanusiaan yang disebut the mankind is one. Prinsip ini tidak membeda-bedakan dalam memperlakukan orang lain atas dasar warna kulit, suku, ras, asal atau status social ekonomi. Kita tetap harus manusiawi terhadap orang lain, apapun latar belakangnya karena semua manusia adalah mahkluk Tuhan yang sama harkat dan martabatnya. Perilaku yang manusiawi atau memanusiakan manusia adalah sesuai dengan kodrat manusia. Sebaliknya, perilaku yang tidak manusiawi bertentangan dengan hakikat kodrat manusia. Perilaku yang tidak manusiawi pasti akan mendatangkan kerusakan dalam hidup manusia. 

Problematika budaya muncul karena keragaman budaya yang menjadi kenyataan, di mana tiap manusia memiliki kebudayaannya sendiri-sendiri yang berbeda dengan kelompok lainnya. Kebudayaan yang dimiliki sekelompok manusia membentuk ciri dan menjadi pembeda dengan kelompok lainnya. Kebudayaan menjadi ciri pembeda atau identitas dari manusia. 

Dalam rangka pemenuhan hidupnya manusia akan berinteraksi dengan manusia lainya, masyarakat berhubungan dengan masyarakat lainnya. Kebudayaan yang ada ikut pula mengalami dinamika seiring dengan dinamika pergaulan hidup manusia sebagai pemilik kebudayaan. 

1.4. Pewarisan kebudayaan 
Pewarisan kebudayaan adalah proses pemindahan, penerusan, pemilikan, dan pemakaian kebudayaan dari generasi ke generasi secara berkesinambungan. Pewarisan ini bersifat vertical artinya budaya diwarisi dari generasi terdahulu ke generasi selanjutnya untuk digunakan dan selanjutnya akan diteruskan kepada generasi yang akan datang nantinya. Pewarisan ini dapat terjadi melalui enkulturasi dan sosialisasi: 
  • Enkulturasi adalah proses mempelajari dan menyesuaikan pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat dan peraturan hidup dengan sistem norma, adat dan peraturan hidup dalam kebudayaannya. Proses ini dimulai sejak kecil, bermula di keluarga, teman sepermainan dan masyarakat luas. 
  • Sosialisasi adalah individu menyesuaikan diri dengan individu lain dalam masyarakatnya. 
Dalam proses pewarisan budaya bisa saja muncul masalah, misalnya sesuai atau tidaknya budaya warisan tersebut dengan dinamika masyarakat terkini, penolakan generasi penerima dan munculnya budaya baru yang tidak lagi sesuai dengan buday warisan. Dalam situasi seperti dimungkinkan terjadi perubahan kebudayaan atau penyebaran kebudayaan ke kelompok lain. 

Perubahan kebudayaan dapat terjadi akibat adanya ketidaksesuaian di antara unsur-unsur budaya yang saling berbeda sehingga terjadi keadaan yang fungsinya tidak serasi bagi kehidupan. Perubahan mencakup banyak aspek, baik bentuk, sifat, perubahan atau mekanisme yang dilalui. Perubahan kebudayaan dapat merugikan manusia jika itu merupakan kemunduran bukan kemajuan dan dapat berdampak buruk jika dilakukan melalui revolusi dan ada di luar kendali manusia. 

Penyebaran kebudayaan atau difusi adalah proses menyebarnya unsur-unsur kebudayaan dari suatu kebudayaan ke kelompok lain atau masyarakat lain. Kebudayaan kelompok masyarakat di suatu wilayah bisa menyebar ke masyarakat lain, misalnya kebudayaan Eropa yang masuk mempengaruhi kebudayaan Timur (Asia dan Afrika). Globalisasi budaya bisa dikatakan pula sebagai penyebaran suatu kebudayaan secara meluas. 

Arnold J. Toyn bee merumuskan beberapa dalil tentang radiasi budaya: 
Pertama, aspek atau unsur budaya selalu masuk tidak secara keseluruhan, melainkan invidiual. Kebudayaan Barat yang masuk ke dunia Timur di abad ke-19 tidak masuk secara keseluruhan. Dunia Timur juga tidak mengambil budaya Barat secara keseluruhan, tetapi unsur tertentu, yaitu teknologi. Teknologi merupakan unsur yan paling mudah diserap. 

Kedua, kekuatan menembus suatu budaya berbanding terbalik dengan nilainya. Makin tinggi dan dalam aspek budayanya, makin sulit untuk diterima. Contoh: religi adalah bagian dari kebudayaan. Religi orang Barat sulit diterima oleh orang Timur dibandingkan teknologinya. Alasannya, religi merupakan lapisan budaya yang paling dalam dan tinggi, sedangkan teknologi merupakan lapis luar dari budaya. 

Ketiga, jika satu unsur budaya masuk maka akan menarik unsur budaya lain. Unsur teknologi asing yang diadopsi akan membawa masuk pola nilai budaya asing melalui orang-orang asing yang bekerja di industri teknologi tersebut. 

Keempat, aspek atau unsur budaya yang di tanah asalnya tidak berbahaya, bisa menjadi berbahaya bagi masyarakat yang didatangi. Dalam hal ini, Toynbee memberi contoh tentang nasionalisme yang menjadi hasil evolusi sosial budaya dan menjadi sebab tumbalnya negara-negara Nasional di Eropa abad ke-19 justru memecah belah sistem kenegaraan di Timur, seperti kesultanan dan kekhalifahan di Timur Tengah. 

Penyebaran kebudayaan (difusi) dapat menimbulkan masalah, di mana masyarakat penerima akan kehilangan nilai-nilai budaya lokal sebagai akibat kuatnya budaya asing yang masuk. Contoh: adalah globalisasi yang mengakibatkan dibukanya semakin luas masuknya nilai-niai budaya global yang dapat memberi dampak negative bagi perilaku sebagian masyarkat Indonesia. 

Selain difusi, kontak kebudyaan dapat berupa akulturasi dan asimilasi. Akulturasi merpakan penemuan antara dua kebudayaan atau lebih yang berbeda atau akulturasi merupakan kontak antar kebudyaan, namun masing-masing memperlihatkan unsur-unsur budayanya. Asimilasi berarti peleburan antar kebudayaan tertentu. Asimilasi terjadi karena proses yang berlangsung lama dan intensif antara mereka yang berlainan latar belakang ras, suku, bangsa dan kebudayaan. Jika terjadi, asimilasi biasanya menghasilkan kebudayaan yang baru. 

2. Manusia sebagai mahkluk sosial 

2.1. Hakikat manusia sebagai individu dan sosial 

Individu berasal dari bahasa Latin individuum yang berarti tidak terbagi. Kata individu merupakan sebutan yang dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Kata individu bukan berarti manusia secara keseluruhan yang tidak dapat dibagi, melainkan sebagai kesatuan terbatas, yaitu perseorangan manusia. Manusia lahir sebagai individu yang bermakna tidak terbagi atau terpisahkan antara jiwa dan raga. Secara biologis, manusia lahir dengan kelengkapan fisik, tidak berbeda dengan makhluk hewan. Namun secara rohani, ia sangat berbeda dengan makhluk hewan pun. Jiwa manusia merupakan satu kesatuan dengan raganya untuk selanjutnya melakukan aktivitas atau kegiatan. Kegiatan manusia tidak semata-mata digerakkan oleh jasminya, tetapi juga aspek rohani. Manusia mengarahkan seluruh jiwa raganya untuk berkegiatan dalam hidupnya. 

Dalam perkembangannya, manusia sebagai makhluk individu tidak hanya bermakna kesatuan jiwa dan raga, tetapi akan menjadi pribadi yang khas dengan corak kepribadiannya, termasuk kemampuan dan kecakapannya. Dengan demikian, manusia sebagai individu merupakan pribadi yang terpisah, berbeda dari pribadi lain. Manusia sebagai makhluk individu adalah manusia sebagai perseorangan yang memiliki sifat sendiri-sendiri, bersifat nyata dan berupaya merealisasikan potensi diri yang hanya dimiliki olehnya. 

Setiap manusia memiliki perbedaan karena karakteristik sendiri dengan watak, sifat, keinginan, kebutuhan dan cita-cita yang berbeda satu dengan lainnya. Setiap manusia diciptakan Tuhan dengan ciri dan karakteristik yang unik dan spesifik. Karena itu, manusia sebagai makhluk individu adalah unik dan tidak mungkin sama dengan yang lainnya di dunia ini, bahkan kembarannya pun. 

Pertumbuhan dan perkembangan individu dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: 
  1. Pandangan nativistik yang menyatakan bahwa pertumbuhan individu semata-mata ditentukan atas dasar faktor dalam diri individu, seperti bakat dan potensi, termasuk pula hubungan atau kemiripan dengan orangtuanya. Contoh: jika ayahnya seniman maka anak menjadi seniman juga. 
  2. Pandangan empiristik menyatakan bahwa pertumbuhan individu semata-mata didasarkan pada faktor lingkungan. Lingkunganlah yang menentukan pertumbuhan seseorang. 
  3. Pandangan konvergensi yang menyatakan bahwa pertumbuhan individu dipengaruhi oleh individu dan lingkungan. Bakat anak merupakan potensi yang harus disesuaikan dengan diciptakannya lingkungan yang baik sehingga ia bisa tumbuh dengan optimal. 
Manusia sebagai individu ternyata tidak mampu untuk hidup sendiri dan akan senantiasa bergantung pada manusia lainnya. Manusia saling membutuhkan manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan hidupnya. Sejak manusia dilahirkan, ia membutuhkan pergaulan dengan orang lain terutama dalam hal kebutuhan makan dan minum. Pada usia bayi, ia sudah menjalin hubungan terutama dengan ayah dan ibunya, dalam bentuk gerakan, senyuman, dan kata-kata. Pada usia 4 tahun, ia mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya dan melakukan kontak sosial. Pada usia-usia selanjutnya ia terikat dengan norma-norma pergaulan dengan lingkungan hidupnya yang semakin luas. Manusia hidup dalam lingkungan sosialnya. Menurut kodratnya, manusia di manapun dan pada zaman apapun akan selalu hidup bersama, hidup berkelompok. Dalam sejarah perkembangan manusia, ia tidak dapat hidup seorang diri dan terpisah dari manusia lainnya. Aristoteles mengatakan manusia adalah zoon politicon artinya bahwa manusia itu sebagai mahkluk, pada dasarnya selalu ingin bergaul dalam masyarakat. Manusia sebagai individu mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai mahkluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia lahir, hidup, berkembang, dan meninggal dalam masyarakat. 

Adapun yang menyebabkan manusia selalu hidup bermasyarakat antara lain karena adanya dorongan kesatuan biologis yang terdapat dalam naluri manusia, misalnya: hasrat untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum (sebagai yang paling primer dan mendasar), hasrat untuk membela diri, hasrat untuk mengadakan keturunan. Dalam kenyataannya, sejak manusia dilahirkan selalu memiliki dua kinginan yang pokok, yaitu keinginan untuk menjadi satu dengan manusia di sekelilingnya, dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya. 

Keluarga merupakan lingkungan manusia yang pertama dan utama. Dalam keluarga manusia menemukan kodratnya sebagai mahkluk sosial, karena dalam lingkungan itulah untuk pertama kalinya manusia berinteraksi dengan orang lain. Kelompok berikutnya adalah kelompok pertemanan, pergaulan, kelompok pekerja, dan masyarakat secara luas. 

2.2. Peranan manusia sebagai mahkluk individu dan sosial 
Sebagai individu, manusia memiliki harkat dan martabat yang mulia. Setiap manusia dilahirkan sama dan sederajat. Perbedaan yang ada seperti berbeda keyakinan, tempat tinggal, ras, suku, golongan tidak meniadakan persamaan akan harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu, pengakuan dan penghargaan manusia sebagai manusia mutlak diperlukan. Pengakuan dan penghargaan itu dapat diwujudkan dengan pengakuan akan jaminan atas hak-hak asasi manusia. Manusia memiliki hak-hak dasar yang sama yang tidak boleh dihalangi oleh pihak lain. Penindasan terhadap hak-hak dasar orang lain pada dasarnya adalah merendahkan derajat kemanusiaan. 

Manusia sebagai makhluk individu berupaya merealisasikan segenap potensi dirinya, baik jasmani maupun rohani. Jasmani atau raga adalah badan atau tubuh manusia yang bersifat kebendaan, dapat diraba dan bersifat riil. Rohani atau jiwa adalah unsur kerohanian, tidak berwujud, tidak bisa diraba, atau ditangkap dengan indra. 

Sebagai makhluk individu, manusia berusaha memenuhi kepentingannya atau mengejar kebahagiaan sendiri. Motif tindakannya adalah untuk memenuhi keutuhan jasmani dan rohani. Penekanan pada kepentingan diri memunculkan sifat individualistis dalam diri pribadi yang bersangkutan. Di samping itu, faktor pemenuhan atas kepentingan diri sendiri tersebut juga mengakibatkan individu akan saling bersaing untuk hal tersebut. 

Dalam hidup bermasyarakat, individu memberikan fungsi-fungsi positif antara lain: perlu dihargainya harkat dan martabat seorang manusia, adanya jaminan akan hak dasar setiap manusia, dan berkembangnya potensi-potensi diri yang kreatif dan inovatif. Tidak jarang ditemui dalam masyarakat ada orang yang memiliki potensi yang baik sehingga dapat menggerakkan masyarakat untuk maju. Namun demikian, dalam hidup kemasyarakatan, individu bisa menghasilkan fungsi yang negatif. Misalnya: unsur pemenuhan kepentingan diri sendiri menjadikan orang per orang memiliki sifat individualistis dan egois. Orang tidak lagi mau membantu, bersimpati, atau berempati terhadap orang lain dikarenakan kepentingan sendiri yang lebih ditonjolkan. Karena itulah sebenarnya, dalam hidup bermasyarakat lalu dibutuhkan norma-norma yang mengatur yang dapat dijadikan sebagai patokan untuk bertingkah laku, antara lain: 
  1. Norma agama atau religi, yaitu norma yang dianggap bersumber dari Tuhan yang diperuntukkan bagi umat-Nya. Norma agama berisi perintah agar dipatuhi dan larangan agar dijauhi umat beragama. 
  2. Norma kesusilaan atau moral, bersumber dari hati nurani manusia untuk mengajak pada kebaikan dan menjauhi keburukkan. Norma ini bertujuan agar manusia berbuat baik secara moral. 
  3. Norma kesopanan, bersumber dari masyarakat dan berlaku terbatas pada lingkungan masyarakat yang bersangkutan. 
  4. Norma hukum, dibuat masyarakat secara resmi yang pemberlakuannya bersifat pemaksaan. Norma ini dimuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis. 
Manusia dalam kelompok sosialnya, misalnya hidup bernegara, terikat pada norma-norma sebagai hasil interaksi dari manusia itu sendiri. Keterikatan kepada norma termasuk pula keterikatan untuk menghargai adanya orang lain. Jadi, jika dalam dimensi individu, muncul hak-hak dasar manusia maka dalam dimensi sosial ini, muncul kewajiban dasar manusia yaitu menghargai hak dasar orang lain serta menaati norma-norma yang berlaku di masyarakatnya. Dengan demikian, sebagai makhluk sosial, manusia memiliki implikasi-implikasi: 
a. Kesadaran akan ketidakberdayaan manusia bila seorang diri; 
b. Kesdaraan untuk senantiasa dan harus berinteraksi dengan orang lain; 
c. Penghargaan terhadap hak-hak orang lain; 
d. Ketaatan terhadap norma-norma yang berlaku. 

Keberadaannya sebagai makhluk sosial, memungkinkan manusia melakukan peranan: 
a. Melakukan interaksi dengan manusia lain atau kelompok; 
b. Membentuk kelompok-kelompok sosial’ 
c. Menciptakan norma-norma sosial sebagai pengaturan tertib kehidupan kelompok. 

2.3. Dinamika interaksi sosial 
Interaksi sosial merupakan faktor utama dalam kehidupan sosial. Interaksi social merupakan hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan timbal-balik antar individu, antar kelompok manusia, maupun antara orang dengan kelompok manusia. Bentuk interaksi sosial adalah akomodasi, kerja sama, persaingan dan pertikaian. Apabila dua orang atau lebih bertemu dan terjadi interaksi sosial, bisa dalam situasi persahabatan ataupun permusuhan, bisa dengan tutur kata, jabat tangan, bahasa, atau tanpa kontak fisik. Interaksi sosial hanya dapat berangsung antara pihak-pihak apabila terjadi reaksi dari kedua belah pihak. 

Ciri-ciri interaksi sosial yaitu: 
  1. Pelakunya lebih dari satu orang; 
  2. Adanya komunikasi antar pelaku melalui kontak sosial; 
  3. Mempunyai maksud dan tujuan, terlepas dari sama atau tidaknya tujuan tersebut dengan yang diperkirakan pelaku; 
  4. Ada dimensi waktu yang menentukan sikap aksi yang sedang berlangsung. 
Syarat terjadinya interaksi adalah kontak sosial dan komunikasi. Kontak dapat bersifat primer (kontak langsung dengan cara berbicara, jabat tangan, tersenyum, dsb.) dan sekunder (terjadi melalui perantara misalnya telepon, radio, TV, dll). Kontak sosial dapat berupa kontak antar individu, kontak antar individu dengan satu kelompok, ataupun kontak antar kelompok dengan kelompok lainnya. 

Berlangsungnya interaksi sosial didasarkan atas berbagai faktor, antara lain factor imitasi, sugesti, identifikasi, simpati, motivasi, empati. Imitasi adalah proses atau tindakan seseorang untuk meniru orang lain baik sikap, perbuatan, penampilan, dan gaya hidup. Sugesti adalah rangsangan, pengaruh, atau stimulus yang diberikan individu kepada individu lain sehingga orang diberi sugesti. Identifikasi adalah upaya yang dilakukan individu untuk menjadi sama atau identik dengan individu yang ditirunya. Proses ini erat kaitannya dengan imitasi. Simpati adalah proses kejiwaan seseorang individu yang merasa tertarik dengan individu atau kelompok lain karena sikap, penampilan, atau perbuatannya. Motivasi merupakan dorongan, rangsangan, pengaruh atau stimulasi yang diberikan individu kepada individu lain sehingga orang yang diberi akan melaksanakannya secara kritis, rasional dan tanggung jawab. Empati adalah proses kejiwaan seorang individu untuk larut dalam perasaan orang lain baik suka maupun duka. 

2.4. Dilema antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat 

Persoalan pengutamaan kepentingan apakah individu atau masyarakat memunculkan dua pandangan yang saling bertolak belakang: 
  1. Pandangan individualism, yang berpangkal pada konsep dasar ontologis bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang bebas. Paham ini memandang manusia sebagai makhluk pribadi yang utuh dan lengkap terlepas dari manusia lainnya. Manusia sebagai individu adalah bebas, karena ia memiliki hak-hak yang tidak boleh dihalangi oleh siapapun. Apabila hak-hak itu terpenuhi maka kehidupan manusia akan terjamin dan bahagia. Masyarakat hanyalah kumpulan individu-individu. Kepentingan individu perlu dan harus diutamakan dan harus diperjuangkan. Paham ini melahirkan ideologi liberalism. Ideologi ini menjamin hak milik perseorangan, mementingkan diri sendiri, pemberian kebebasan penuh kepada individu, dan persaingan bebas untuk mencapai kepentingan masingmasing. 
  2. Pandangan sosialisme, yang mengutamakan kepentingan masyarakat di atas segalanya. Masyarakat tidak sekedar kumpulan individu tetapi merupakan entitas yang besar dan berdiri sendiri di mana individu-individu berada. Kedudukan individu hanya objek masyarakat dan hak-hak individu menjadi hilang, jika timbul itu semata karena keanggotaannya dalam suatu komunitas. Sosialisme meentingkan masyarakat secara keseluruhan bahwa kepentingan masyarakatlah yang utama, bukan individu. 
Kedua pandangan di atas mengandung kelemahan masing-masing. Kebebasan perseorangan yang merupakan inti dari ajaran individualism dalam pelaksanaannya justru mengingkari ajarannya sendiri, yaitu persamaan. Individualism dapat menimbulkan ketidakadilan, tindakan tidak manusiawi, imperialisme, kolonialisme, dll. Sosialisme yang ekstrim tidak menghargai manusia sebagai pribadi sehingga bisa merendahkan sisi kemanusiaan. Sehingga, harus kembali didudukkan bahwa manusia bukan makhluk individu dan sosial, tetapi manusia adalah makhluk individu sekaligus sosial. Frans Magnis Suseno mengatakan: “manusia adalah individu yang secara hakiki bersifat sosial dan sebagai individu manusia bermayarakat.