Bab III. Menjadi
Manusia yang Bertanggung jawab di Dalam Masyarakat
Bahan Alkitab: Kej. 3:1-13; Hak. 13-16;
Neh. 2:1-7; Mat. 25:31-46; Luk. 10:30-37
A. PENGANTAR
Tentu kalian masih
ingat kisah Adam dan Hawa yang dilarang TUHAN Allah memakan buah dari pohon
yang ada di tengah-tengah Taman Eden, pohon tentang pengetahuan yang baik dan
yang jahat. (Kejadian 3:1-13) Setelah dikeluarkannya larangan itu, suatu hari
ular berjumpa dengan Hawa dan membujuknya agar ia memakan buah terlarang itu.
Mula-mula Hawa menolaknya, namun ular terus membujuknya. Selanjutnya,
perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk
dimakan dan sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati karena memberi
pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga
kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya. (Kejadian 3:6)
Setelah mereka
berdua memakannya, maka terdengarlah TUHAN Allah berjalan mendekati mereka.
Kedua manusia itu bersembunyi di antara pepohonan di taman itu. Lalu TUHAN
Allah memanggil dan bertanya kepada manusia itu, “Di manakah engkau?” Ia
menjawab, “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi
takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi.”
TUHAN Allah
bertanya lebih jauh, “Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau
makan itu?” Mendengar pertanyaan ini, terjadilah sebuah percakapan yang menarik.
Manusia itu menjawab: “Perempuan yang Kautempatkan di
sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan”
Kemudian berfirmanlah TUHAN Allah kepada perempuan itu: “Apakah yang telah
kauperbuat ini?” Jawab perempuan itu: “Ular itu yang memperdayakan aku, maka
kumakan.”
(Kejadian 3:12-13)
Apa yang kita
temukan dalam kisah di atas? Bukankah ini sebuah kisah yang selalu terjadi,
ketika seseorang menolak untuk bertanggung jawab atas tindakan yang ia lakukan,
dan sebaliknya malah saling menyalahkan pihak lain, dan melemparkan tanggung
jawab dari dirinya sendiri kepada yang lain. Akibat yang ditimbulkannya adalah
rusaknya hubungan manusia dengan Tuhan penciptanya, dan juga dengan sesamanya.
Sekarang, marilah
kita menengok pada kisah kehidupan Simson, salah seorang hakim
terkemuka di kalangan masyarakat Israel. Saat itu, Israel belum
mempunyai seorang raja seperti bangsa-bangsa yang lain di sekitar mereka. Kisah Simson terdapat
dalam Kitab Hakim-hakim 13-16. Meskipun bahannya cukup panjang, namun kisah
hidup Simson menarik dan memikat
perhatian banyak orang Israel.
Setelah membaca
cerita itu, coba tuliskan ringkasan cerita Simson tersebut di bawah ini:
…………………………………………………………………………………………..
Sekarang bahaslah
dengan teman-temanmu di sekitar bangkumu, apa yang terjadi dalam hidup Simson?
Apa yang terjadi dengan orang tua Simson? Apa janji mereka kepada Allah sebelum
Simson dilahirkan? Lalu, syarat-syarat apakah yang diberlakukan terhadap Simson
sebagai tanda bahwa ia adalah seorang pilihan Allah?
Dalam Hakim-hakim
14, kita menjumpai kisah Simson di masa hidupnya sebagai seorang pemuda. Apa
yang dikisahkan di situ? Mengapa orangtua Simson merasa resah ketika Simson
ingin menikah dengan seorang gadis Filistin yang cantik? Dalam kisah ini
digambarkan Simson berulang kali jatuh cinta kepada gadis Filistin. Siapakah
orang-orang Filistin itu? Mengapa ini menjadi masalah?
Setelah membaca
semua pasal dari kisah Simson ini, coba diskusikan dengan temanmu apakah Simson
telah menjadi pemimpin yang baik? Mengapa kamu mengatakan demikian? Bagaimana
cara kamu menilai kehidupan Simson?
B.
ARTI TANGGUNG
JAWAB
Tema kita dalam
pelajaran ini adalah “Menjadi Manusia yang Bertanggung jawab di Dalam
Masyarakat. “Dalam kata “bertanggung jawab” terkandung dua kata yang penting,
yaitu “tanggung” dan “jawab.” Dalam bahasa Inggris, kata “tanggung jawab”
diterjemahkan menjadi “responsibility” yang dibentuk dari dua kata, yaitu
“response” dan “ability”, yang masing-masing berarti “jawaban” dan
"kemampuan. “Dengan kata lain, di dalam kata “responsibility” terkandung
makna “kemampuan untuk menjawab kepada orang lain atas akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh tindakan kita.” Di sini kita melihat ada kesamaan makna kata
“responsibility” dengan “tanggung jawab” dalam bahasa Indonesia. Keduanya
sama-sama menuntut kemampuan dan kesediaan seseorang untuk menanggung
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya.
Presiden Amerika
Serikat, Theodore Roosevelt pernah mengucapkan sebuah ungkapan yang berbunyi,
“The buck stops here.” Artinya, “Uang itu berhenti di sini.” Dalam ungkapan ini
terkandung pernyataan, “Sayalah yang bertanggung jawab; jangan
melempar-lemparkan terus masalah ini ke orang-orang lain.” Roosevelt ingin
menunjukkan, bahwa meskipun mungkin masalah atau suatu kesalahan dilakukan oleh
salah seorang bawahannya, sebagai seorang atasan, dialah yang layak
dipersalahkan.
Sekarang, coba
bandingkan dengan kasus ini:
Pada Maret 2009, seorang perempuan berusia 62 tahun
dituduh mencuri uang lebih dari US$ 73.000 dari gerejanya di negara bagian
Washington, AS. Ketika para detektif menginterogasinya, ia mengatakan kepada
mereka, “Setan berperanan besar dalam pencurian itu.” (Marvin Williams, “The
Devil Made Me Do It,” Our Daily Bread, 5 Agustus 2010).
Berapa sering kita
mempersalahkan orang lain untuk kesalahan yang kita perbuat? Dalam kasus ini,
si pencuri mempersalahkan Setan sebagai pihak yang paling penting peranannya
sehingga ia memutuskan untuk mencuri.
Coba lihat dalam
berbagai kasus di pengadilan. Banyak yang terdakwa seringkali melemparkan
kesalahannya kepada orang lain. Baru-baru ini seorang pejabat tinggi kepolisian
dijatuhi hukuman penjara karena dituduh melakukan korupsi
hingga milyaran rupiah di bidang yang menjadi tanggung
jawabnya, yaitu proyek pengadaan simulator SIM (surat izin mengemudi). Dalam
pembelaannya, Irjen Pol. Djoko Susilo mengaku bahwa ia tidak teliti dalam
mengawasi pekerjaan di tempat kerjanya. Ia mengatakan, “Saya langsung
menandatangani setiap dokumen atau surat yang diberikan kepada saya.” Jadi,
Irjen Polisi itu tidak mengakui bahwa ia telah dengan sengaja mengkorup anggaran
negara. Ia hanya sekadar lalai karena kesibukannya banyak. “Saya menyadari
sepenuhnya dalam kasus saya ini telah terjadi kelemahan manajerial,” kata
jenderal bintang dua itu. (Atjeh Post, “Kasus simulator SIM,” 27 Agustus 2013)
Apa yang kita
temukan di sini adalah pengakuan akan kesalahan yang lebih kecil (“kelalaian”)
ketimbang kesalahan yang lebih besar (“korupsi”), karena yang bersangkutan
tidak mau dipersalahkan untuk tuduhan yang dikenakan kepadanya. Kembali di sini
kita menemukan kasus penolakan untuk bertanggung jawab atas tugas yang telah
diembankan kepadanya, yakni memastikan bahwa seluruh pekerjaan yang ada di
bawah kendalinya berjalan dengan baik, tertib, dan bersih. Soal salah atau
tidaknya si terdakwa dalam kasus ini, bukanlah urusan kita. Yang penting kita
pelajari ini adalah sikap orang ketika menghadapi sebuah tuduhan.
C.
TANGGUNG JAWAB DAN
KEDEWASAAN
Kedewasaan dapat
dilihat dari tanggung jawab seseorang terhadap apa yang ia kerjakan di dalam
hidupnya. Misalnya, pada usia mudanya, setiap orang bertanggung jawab untuk
belajar. Mengapa? Inilah waktunya mereka mempersiapkan diri untuk memikul tanggung
jawab yang lebih besar, yaitu menjalani kehidupannya di tengah masyarakat, dan
berperan dalam menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi kehidupan masyarakat
yang lebih baik.
D.
TANGGUNG JAWAB
DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT
Setiap orang
adalah bagian dari kelompok yang lebih besar yang bernama keluarga. Dan setiap
keluarga adalah bagian dari masyarakat. Sebagai individu, setiap orang
mempunyai tanggung jawab untuk membangun kelompoknya, yaitu keluarga dan
masyarakat. Sebagai orang Kristen, sudah tentu kita mempunyai kelompok yang
lain di dalam hidup kita, yaitu gereja. Ini berarti bahwa kita masing-masing
terpanggil untuk menyumbangkan peranan kita bagi pembangunan keluarga, gereja,
dan masyarakat kita.
Sumbangan ini tentu sebanding dengan tingkat usia, kedewasaan dan kemampuan kita masing-masing. Sewaktu kita masih kecil, kita masih lebih banyak menerima bantuan dari orang-orang di sekitar kita untuk bertumbuh dan berkembang menjadi anggota keluarga, masyarakat, dan gereja yang baik. Namun hal ini tidak boleh berlangsung terus-menerus dengan cara demikian. Pada saatnya kelak kita akan dituntut untuk menyumbangkan peranan yang semakin besar.
Sekarang,
bandingkan dengan seorang pemalas yang tidak mau menggunakan waktunya untuk
mempersiapkan diri untuk terjun ke dalam masyarakat kelak. Apa yang akan
terjadi kelak? Ketika ia menjadi dewasa, mungkin sekali ia tidak mampu
memberikan kontribusi yang besar kepada masyarakat luas. Bahkan besar
kemungkinan ia malah akan menjadi beban masyarakat – misalnya, menjadi
pengemis, atau menjadi warga masyarakat yang kurang produktif.
Presiden John F.
Kennedy dari Amerika Serikat pernah berkata kepada rakyatnya, “Don’t ask what
your country can do for you. Ask what you can do for your country.” Artinya,
“Jangan bertanya apa yang dapat diberikan oleh negaramu kepadamu, tetapi
tanyakanlah dirimu sendiri, apa yang dapat kamu berikan kepada negaramu.”
Jelas ini adalah
anjuran yang sangat tepat bagi warga masyarakat yang sudah menjadi dewasa dan
matang. Mereka tidak boleh hanya menunggu apa yang akan diberikan oleh
pemerintah dan negara kepada mereka. Sebaliknya, mereka harus bertanya kepada
diri mereka sendiri, apa yang dapat mereka lakukan bagi negara mereka. Hal yang
sama juga berlaku bagi keluarga dan gereja kita.
Dalam lingkaran
yang lebih luas, kamu harus belajar bahwa kita tidak hidup sendirian. Kamu
harus paham bahwa apa yang kita lakukan di sekolah, atau di kota maupun desa
sendiri, bisa mempunyai akibat yang luas terhadap orang lain. Mungkin kamu
pernah melihat anak-anak remaja yang bermain ketapel atau senapan angin untuk
menembaki burung-burung liar, bajing, dan binatang-binatang lainnya. Untuk apa?
Tidak ada tujuan apa-apa! Hanya kesenangan atau iseng saja. Dan kesenangan atau
tindakan iseng-iseng itu telah menyebabkan makhluk-makhluk lain mati dengan
sia-sia.
Pada tahun 2011
sebuah perusahaan kelapa sawit dari Malaysia membunuh puluhan orangutan di
Kalimantan Barat karena binatang yang terancam kepunahan itu dianggap sebagai
hama dan pengganggu tanaman mereka. Padahal justru perkebunan sawit itulah yang
telah masuk dan merampas ruang hidup binatang-binatang itu.
Hancurnya hutan
dan musnahnya satwa liar di Indonesia tidak memberikan kerugian apapun pada
Malaysia. Sebaliknya, malah memberikan keuntungan bagi Malaysia. Dunia akan
mengenal industri kelapa sawit Indonesia itu brutal dan pada akhirnya dihindari
konsumen. "Mereka akan membeli sawit Malaysia. Sawit Indonesia harus
dijual dulu dan dilabeli ramah lingkungan di Malaysia agar bisa laku di pasar
dunia." (Medan Tribunnews, “Malaysia Berperan Membantai Orangutan di
Kalimantan”, 22 Nov. 2011).
Ada orang-orang
yang punya banyak uang dan merasa bahwa mereka bisa membeli apa saja semau
mereka. Di beberapa wilayah di Pulau Jawa, orang- orang seperti ini banyak
membangun vila-vila mewah di pegunungan tanpa izin dan tanpa memperhatikan
kerusakan yang mungkin ditimbulkannya terhadap keseimbangan alam. Hal ini dapat
menyebabkan berkurangnya daya serap air di pegunungan, sehingga air mengalir
lebih cepat ke kaki gunung dan kota-kota di dataran rendah lalu masuk ke laut.
Akibatnya, terjadilah banjir di mana-mana.
Di dalam Alkitab
kita menemukan kisah Nehemia, seorang bangsa Yehuda, yang diangkat menjadi juru
minum Raja Artahsasta dari Persia. Ini adalah jabatan yang sangat strategis dan
terhormat. Tentu banyak orang yang sangat menginginkan agar dirinya diangkat
raja untuk menduduki jabatan itu. Namun suatu hari baginda mengamati bahwa
Nehemia tampak muram mukanya. Raja bertanya, apa yang mengganggu pikirannya.
Nehemia pun menceritakan kegundahan hatinya. “Bagaimana mukaku tidak akan muram, kalau kota, tempat pekuburan nenek
moyangku, telah menjadi reruntuhan dan pintu- pintu gerbangnya habis dimakan
api?” (Nehemia 2:3)
Mendengar jawaban
itu raja bertanya, apa yang bisa baginda lakukan untuk menolongnya. Nehemia
menjawab, “Jika raja menganggap baik dan berkenan kepada hambamu ini, utuslah
aku ke Yehuda, ke kota pekuburan nenek moyangku, supaya aku membangunnya
kembali. “Apa arti jawaban Nehemia ini? Ini berarti Nehemia ingin melepaskan
jabatannya di istana raja, dan pergi ke Yerusalem untuk membangun kembali
negeri leluhurnya. Bayangkan! Sebuah jabatan yang begitu tinggi, penting, dan
strategis yang dimiliki Nehemia, tentunya menghasilkan pendapatan yang tinggi
baginya. Belum lagi berbagai kesempatan istimewa yang bisa ia nikmati. Namun
kini Nehemia bersedia melepaskan semua itu, demi keyakinannya akan tugas dan
panggilannya untuk membangun kembali tanah airnya!
Gelisah Anak Bangsa di Luar Negeri
Ada banyak orang
Indonesia yang belajar atau bahkan berkarya di luar negeri. Banyak di antara
mereka yang menghadapi kegelisahan ketika berhadapan dengan pilihan, apakah
mereka akan terus tinggal di luar negeri, atau kembali ke tanah air – seperti
Nehemia – untuk mengabdikan diri bagi bangsa dan tanah air.
Berikut ini adalah
cuplikan sebuah tulisan yang melukiskan kegelisahan itu: “Kembali Mengabdi ke
Tanah Air atau Berkarya di Luar Negeri?”
Setiap mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar
negeri pasti ingin berkontribusi dalam pembangunan di tanah air tercinta. Namun
ada berbagai tantangan dan pertimbangan yang kadang membuat mereka gamang untuk
kembali. Diskusi bulanan yang diadakan PPI Stockholm beberapa waktu lalu
berusaha membahas berbagai tantangan tersebut.
Dari diskusi tersebut banyak tantangan mencuat,
seperti ilmu yang kita dapatkan selama studi belum dapat sepenuhnya
diimplementasikan di negeri kita. Tantangan lain adalah penempatan kita yang
kurang sesuai dengan keahlian. Ada beberapa kisah di mana ilmu dan pos di mana
kita ditempatkan jauh panggang dari api.
Bagi yang sudah berkeluarga, setelah merasakan
pendidikan yang bagus dan gratis di negeri orang, tentu berharap hal yang sama
di negeri kita. Belum adanya perhatian yang besar dari pemerintah terhadap
riset membuat beberapa ilmuan berfikir ulang untuk kembali ke Indonesia.
Suasana kerja yang sangat berbeda juga menjadi kendala lain. Bahkan ada situasi
di mana kembalinya kita malah dianggap sebagai saingan oleh rekan-rekan di
tanah air. Masih banyak lagi tantangan yang ada yang semuanya menjadi “culture
shock” bagi mereka yang ingin “pulang kampung.”
Lalu apa yang harus dilakukan? Pulang tanpa persiapan,
alias terjun bebas? Atau tetap tinggal dan berkarir di negeri orang? (Setia
Pramana, “Kembali Mengabdi ke Tanah Air atau Berkarya di Luar Negeri?” dalam
Kompasiana, 15 Juli 2013)
Kegelisahan yang diungkapkan
dalam tulisan di atas tampaknya mengusik sebagian orang yang merasa ingin
melaksanakan tanggung jawabnya di tanah air tercinta, namun merasa sulit
mengambil keputusan untuk itu karena merasa kurang diterima oleh lingkungan
barunya di Indonesia kelak. Jadi, apa yang harus dilakukan untuk mengatasi hal
ini?
E.
TANGGUNG JAWAB
TERHADAP SESAMA
Sebagai bagian
dari masyarakat kita semua mempunyai tanggung jawab terhadap sesama. Tuhan
Yesus pernah berkata,
Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika
Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku
tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit,
kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku (Mat. 25:35-36).
Ini adalah sesuatu
yang dituntut dari setiap orang, bukan hanya orang Kristen. Malah dari ucapan
Tuhan Yesus ini tampak bahwa sekadar percaya kepada Tuhan itu tidak cukup
apabila kita tidak melakukan semua tindakan kepedulian terhadap orang lain.
Jadi, kita wajib mengasihi, melayani, menolong orang-orang yang menderita–apapun
juga suku, agama, kelas sosial, statusnya di masyarakat, dll., sebab Kristus
juga hadir di dalam mereka.
Tanggung jawab itu
juga diperlihatkan oleh Yesus dalam perumpamaan- Nya tentang Orang Samaria yang
Murah Hati (Luk. 10:30-37). Dalam kisah ini digambarkan bahwa imam dan si orang
Lewi tidak memperlihatkan kepedulian mereka terhadap penderitaan sesama mereka.
Namun – inilah yang menarik dari perumpamaan ini – Yesus justru menunjukkan
bahwa si orang Samaria, yang biasanya diejek dan dihina oleh orang Yahudi,
mampu memperlihatkan kepeduliannya kepada si korban yang sudah setengah mati
dipukuli oleh para penyamun.
Tanggung jawab
terhadap orang lain ini juga semakin disadari bahkan di tingkat internasional.
Di masa lalu, berdasarkan Perjanjian Perdamaian Westphalia, yang ditandatangani
pada 1648, negara-negara di dunia mengakui adanya “hak untuk menentukan nasib
sendiri” yang dimiliki oleh setiap negara. Pemahaman yang tadinya kedengaran
bagus, belakangan mulai disadari kekurangannya ketika sebuah negara
menginjak-injak hak asasi rakyatnya sendiri. Apakah negara-negara lain berhak
ikut campur dan memprotes kebijakan negara itu?
Di masa kini,
negara-negara semakin sadar bahwa mereka tidak dapat berdiam diri begitu saja ketika
rakyat di suatu negara lain mengalami penindasan dan tekanan dari pemerintahnya
sekalipun. Prof. Saban Kardas, pakar politik dari TOBB University of Economics and Engineering di Turki mengatakan,
Di masa
pasca-Perang Dingin, muncullah suatu pemahaman bersama bahwa mempertahankan
otonomi tidaklah boleh dilihat sebagai tujuan itu sendiri di dalam batas-batas
negara yang berdaulat. Kofi Annan merefleksikan pemahaman yang baru ini dengan
menyatakan bahwa:
Kedaulatan negara, dalam pemahamannya yang paling
mendasar, sedang didefinisikan kembali – tidak kurang oleh kekuatan-kekuatan
globalisasi dan kerja sama internasional. Negara-negara kini dipahami secara
luas sebagai alat-alat yang harus digunakan untuk melayani rakyatnya, bukan
sebaliknya. Pada saat yang sama, kedaulatan individu – yaitu apa yang saya
maksudkan sebagai kemerdekaan mendasar dari setiap individu, yang dilindungi di
dalam Piagam PBB dan perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat sesudah
itu–telah diperkuat oleh kesadaran baru dan yang meluas tentang hak-hak
individu. Bila kita membaca piagam ini sekarang, maka kita akan semakin sadar
bahwa tujuannya adalah untuk melindungi setiap pribadi manusia, bukan untuk
melindungi mereka yang menzoliminya. (Saban Kardas, “Humanitarian Intervention
as a ‘Responsibility to Protect’: An International Society Approach”)
Itulah sebabnya
ketika pemerintah Cina melakukan kekerasan dan bahkan pembunuhan terhadap para
pengunjuk rasa di lapangan Tienanmen pada 1989, banyak negara di dunia mengecam
pemerintah tersebut. Pada tahun 2011, Presiden Libya, Muammar Khadafi,
memerintahkan pasukannya menumpas para demonstran, sehingga rezimnya dikucilkan
oleh dunia. Akhirnya, pemerintahannya runtuh, dan Khadafi menemukan ajalnya
dengan menyedihkan karena dibunuh oleh rakyatnya sendiri (VivaNews, “Rezim
Khadafi Mulai Dikucilkan”, 23 Februari 2011).
Dari sini kita dapat
melihat betapa luasnya pemahaman yang dikembangkan dalam Kekristenan-dari tanggung
jawab pribadi terhadap keluarga berkembang menjadi tanggung jawab terhadap
orang lain, bahkan juga bangsa-bangsa lain di dunia. Kita perlu mengingat
kata-kata Dr. Martin Luther King, Jr., seorang tokoh hak asasi manusia dari
Amerika Serikat, yang mengatakan, “Ketidakadilan di manapun juga, adalah
ancaman terhadap keadilan di mana-mana.”
Diskusikan pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan teman-temanmu!
- Apa yang menyebabkan Adam dan Hawa saling melepaskan tanggung jawab mereka setelah TUHAN Allah mengetahui bahwa mereka telah melanggar perintah Allah?
- Andaikata kamu menjadi Simson di masa kini, apakah ceritamu akan berbeda dengan cerita Simson? Kalau tidak, mengapa? Kalau ya, bagaimana?
- Apa kaitan antara kata-kata Presiden John F. Kennedy dengan apa yang dilakukan oleh Nehemia?
- Kalau kamu menjadi Nehemia, menikmati jabatan yang tinggi di negeri asing, maukah kamu melepaskannya demi membangun masyarakat kamu atau gereja kamu di tanah air? Jelaskan alasan-alasan bagi jawabanmu itu!
- Buatlah sebuah rencana untuk mengajak teman-temanmu di gereja untuk memperlihatkan kepedulian dan kasih sayang kepada orang lain, meskipun kalian tidak mengenal orang itu.
F.
RANGKUMAN
Dalam bahan ini
kita telah belajar apa artinya menjadi dewasa dan hidup bertanggung jawab di
tengah masyarakat. Tanggung jawab itu harus tampak dalam kehidupan kita di
tengah keluarga, masyarakat, maupun gereja. Kita juga melihat bahwa ternyata
kita pun harus peduli dan ikut bertanggung jawab untuk menyuarakan teguran
terhadap bangsa dan negara lain sekalipun, apabila kita melihat bahwa rakyat
atau segolongan rakyat di negara itu diperlakukan dengan tidak adil dan
ditindas dengan sewenang-wenang.
G.
PENUTUP
Doa Penutup: Tuhan, tolonglah aku untuk bertumbuh
menjadi manusia yang bertanggung jawab kepada keluarga, masyarakat, dan gereja
kami. Janganlah membiarkan kami bertumbuh menjadi manusia yang egois, melainkan
ajarkanlah kami untuk rela berbagi dengan sesama kami yang kurang beruntung.
Dalam nama Yesus Kristus kami menaikkan doa ini. Amin.