Pages

Kategori

Diberdayakan oleh Blogger.

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Paling Dilihat

12 Mei 2020

Konsep Teologi Tentang Allah TriTunggal


Kegiatan Belajar 1: Konsep Teologi Tentang Allah TriTunggal


AJARAN ALKITAB TENTANG ALLAH TRITUNGGAL

Dokrin KeTritunggalan Allah atau Trinitas merupakan salah satu dokrin yang istimewa dan unik bagi umat Kristen. Dikatakan istimewa dan unik sebab iman Kristen berkayakinan bahwa Allah itu esa, namun juga ada tiga yang adalah Allah. Dokrin ini sangat penting bagi perkembangan iman Kristen karena berkaitan dengan siapakah Allah yang disembah, bagaimana cara kerjaNya, bagaimana manusia harus mendekatiNya. Tetapi sekaligus juga menjawab beberapa pertanyaan praktis yang sering muncul dalam kehidupan umat Kristen maupun dalam kehidupan bersama dengan sesama yang beragama lain, misalnya siapakah yang harus disembah, apakah Allah Bapa, Allah Anak atau Allah Roh Kudus, apakah Allah Bapa lebih tinggi kedudukanNya dari Allah Anak dan Allah Roh Kudus?

Keesaan Allah
Agama orang Ibrani Kuno sangat mempertahankan iman yang monoteistis, dan telah berkali-kali dinyatakan kepeda Israel dengan berbagai cara. Misalnya dalam Keluaran 20:2-3. Kata Ibrani yang diterjemahkan sebagai “dihadapanKu” adalah ‘al panai’ yang secara harafiah berarti “di Muka-Ku”. Hal ini mengungkapkan bahwa Allah telah menunjukkan realitas-Nya yang unik melalui apa yang telah dilakukanNya, sehingga Ia berhak menuntut penyembahan, pengabdian dan ketaatan mutlak dari bangsa Israel. Allah melarang untuk menyembah berhala (ay. 4) karena Dia sajalah Allah.

Selain itu sebuah petunjuk yang jelas tentang Allah itu tunggal atau esa terdapat dalam Syema Israel di Kitab Ulangan 6. Ini adalah kebenaran yang luar biasa dari Allah yang harus diajarkan oleh para orang tua Israel kepada anak-anak mereka. Dalam Ulangan 6:13,14 menunjukkan bahwa Allah itu Esa, dan tidak ada dewa-dewi bangsa lain di sekitar Israel yang harus dianggap benar dan layak untuk dilayani dan disembah (bdg. Kel 15:11; Zakh. 14:9). Selain dalam Perjanjian Lama, maka dalam Perjanjian Baru Yakobus 2:19 menganjurkan untuk percaya kepada Allah yang Esa. Dalam 1 Korintus 8:4,6 Rasul Paulus juga menggarisbawahi keunikkan Allah dengan mengemukakan “…tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain daripada Allah yang esa…bagi kita hanya ada satu allah saja, yaitu Bapa, yang daripadaNya berasal segala sesuatu dan untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja yaitu Yesus Kristus, yang olehNya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup”.

Keesaan Allah berarti bahwa, pertama, hanya ada satu Allah saja dan bahwa sifat dasar atau watak Allah tidak dapat dipisah-pisahkan atau dibagi (Ul. 4:35; I Raja. 8:60; Yes. 45:5-6). Allah tidak terdiri dari bagian-bagian tertentu atau dapat diuraikaan menjadi bagian-bagian tertentu. Allah itu sederhana, menurut angka Ia hanya satu, bebas dari segala bentuk paduan. Allah itu Roh adanya sehingga tidak dapat diurai. Yang berinkarnasi menjadi manusia dan mati disalibkan adalah Anak, namun tidak berarti bahwa Bapa yang mengutus Anak ke dalam dunia dan Roh Kudus yang membaharui orang percaya kepada Anak, tidak bersama-sama dengan Dia.

Kedua, Allah itu esa karena ketiga Oknum tersebut memiliki satu hakikat atau substansi yang tidak saja sama tetapi satu. Hakikat yang satu ini adalah hidup, terang, kasih, kebenaran, kemuliaan, kekuasaan, kekekalan, dan lain-lain. Seperti Bapa sempurna demikian juga Anak dan Roh Kudus. Suatu keesaan tidak sama dengan suatu kesatuan. Satu kesatuan ditandai dengan sifat tunggal. Tetapi keesaan Allah memberikan peluang bagi adanya perbedaan-perbedaan pribadi di dalam sifat dasar ilahi. Dengan demikian keesaan Allah menyatakan secara tidak langsung bahwa ketiga Oknum Tritunggal bukanlah hakikat-hakikat yang terpisah di dalam hakikat Ilahi itu.


Konsep Keilahian Tiga Oknum
Tritunggal dalam teologi Kristen berarti bahwa ada tiga Oknum kekal dalam hakikat Ilahi yang satu itu, yang masing-masing dikenal sebagai Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus, yang dapat dikatakan sebagai tiga kepribadian Allah. Ketika berbicara tentang adanya Tiga Oknum yang merupakan Allah maka juga perlu dipelajari dari kesaksian Alkitab. Selain Bapa yang telah disebut sebagai Allah dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, maka dalam 1 Korintus 8:4; 1 Timotius 2:5-6, dapat ditemukan berbagai kasus di mana Yesus menyebut Bapa sebagai Allah. Sedangkan ayat kunci menurut Millard Erikson yang menunjukkan keilahian Yesus terdapat dalam Filipi 2:5-11. Kata Yunani yang diterjemahkan sebagai “rupa” adalah kata μορφη (morphe) yang berarti seperangkat ciri khas yang membentuk keadaan sesuatu. Bagi Paulus yang adalah seorang ortodoks dan dibina dalam ajarana Yahudi yang ketat ini merupakan pernyataan yang mengherankan karena mencerminkan iman gereja mula-mula, dan mengemukakan penyerahan yang mendalam terhadap keilahian Yesus. Bukan hanya soal penggunaan kata μορφη, tetapi juga oleh ungkapan “setara” “ισα” dengan Allah. Ayat 6 ini melukiskan bahwa Yesus itu setara dengan Allah, tetapi tidak berusaha untuk mempertahankannya. Selain itu saat menghadap kayafas, Yesus sangat menekankan keilahian-Nya, dan juga saat Thomas menyapaNya dalam Yohanes 20:28.

Selain Yesus dalam Alkitab juga menunjukkan Roh Kudus adalah Allah. Misalnya dalam kisah Ananis dan Safira (KPR. 5:3-4) yang menekankan bahwa berdusta kepada Roh Kudus (ay.3) disamakan dengan berdusta kepada Allah (ay.4). Roh Kudus juga dilukiskan memiliki sifat-sifat Allah dan dapat melakukan apa yang dilakukan Allah. Misalnya menginsyafkan manusia akan dosa, kebenaran dan penghakiman (Yoh. 16:8-11), melahirkan kembali atau memberi hidup baru (Yoh. 3:8). Dalam 1 Petrus 1:2, Petrus menyebut para pembaca suratnya sebagai orangorang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan dikuduskan oleh Roh untuk taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya.

Ke-Tritunggalan Allah
Perjanjian lama mencatat bahwa Allah berkali-kali memakai kata ganti jamak (Kej. 1:26; 3:22; 11:7; Yes. 6:8) serta kata kerja jamak (Kej. 1: 26; 11:7) untuk menunjuk kepada diri-Nya sendiri. Nama Allah yang dipakai dalam ayat-ayat ini adalah Elohim yakni sebuah istilah jamak. Keadaan jamak yang melukiskan KeTritunggalan ini dapat ditemukan dalam kenyataaan berikut:
  1. Tuhan dibeda-bedakan dari Tuhan Allah (Kej. 19:24; Hos. 1:7; Zakh 3:2)
  2. Anak Allah dibeda-bedakan dari Allah Bapa (Yes 48:16 bdg. Maz. 45:7-8; Yes. 63:9-10
  3. Roh juga dibedakan dari Allah Bapa (Kej. 1:1; 6:3; Bil. 27:18).

Selain itu dalam Perjanjian Lama dikemukakan Malaikat Tuhan yang bukan malaikat biasa, karena Malaikat Tuhan itu berfirman atas namaNya sendiri dan mau disembah (Kej. 16:10; Yos.5; Hak.21). Istilah Malaikat Tuhan dalam Perjanjian Lama merupakan petunjuk khusus kepada pribadi kedua dalam ke-Allahan sebelum penjelmaan-Nya, dan merupakan pertanda dari kedatangan-Nya sebagai manusia di kemudian hari. Malaikat Tuhan disamakan dengan Tuhan, namun berbeda dengan Tuhan. Dalam Perjanjian Lama ditemukan juga pernyataan tentang Roh Allah yang memberi ilham kepada manusia (Yeh. 11:5). Kadang juga diperlihatkaan Oknum yang lebih dari satu (Maz. 33:6; 45:6-8; Yes. 63:8-10). Dalam beberapa ayat Alkitab juga ketiga Oknum Ilahi dihubungkan satu dengan yang lain dan ditampilkan setara. Misalnya dalam formula baptisan dalam Amanat Yesus (Mat. 28:19-20). Nama yang digunakan dalam ayat-ayat ini adalah dalam bentuk tunggal, meskipun ada tiga Oknum yang termasuk. Selain itu hubungan ketiga Oknum ini juga terdapat dalam berkat Paulus (2 Kor. 13:13). Pada saat pembaptisan Yesus, ketiga Oknum Tritunggal hadir. Sang Anak dibaptis, Roh Allah turun seperti burung merpati, serta Allah Bapa mengucapkan kata-kata pujian tentang Sang Anak. Petrus juga menekankan hubungan ketiga Oknum Bapa, Anak dan Roh Kudus dalam khotbahnya pada hari Pentakosta (Kis. 2:33,38).

Injil Yohanes juga memberikan bukti yang kuat tentang kesetaraan Tritunggal. Rumusan rangkap 3 dijumpai berkali-kali sebagaimana diamati oleh George Hendry yang dikutip Erikson, yakni Anak diutus oleh Bapa (14:24), dan berasal dari Dia (16:28). Roh diberikan oleh Bapa (14:16), diutus oleh Bapa (14:26) dan berasal dari Bapa (15:16). Sekalipun demikian, Anak sangat terlibat dalam kedatangan Roh Kudus; Anak mendoakan kedatangan-Nya (14:6), Bapa mengutus Roh dalan nama Anak (14:26), Anak akan mengutus Roh dari Bapa (15:26). Pelayanan Roh Kudus dipahami sebagai kelanjutan dari pelayanan Anak.

Yesus dalam pelayanan-Nya pun menunjukkan persatuan-Nya dengan Bapa, dengan mengatakaan “Aku dan Bapa adalah satu “(10:30) dan “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (14:9). Dia berdoa agar para murid-Nya bersatu sebagaimana Dia dan Bapa adalah satu juga (17:21).



LATAR BELAKANG MUNCULNYA DOKRIN TRITUNGGAL
Sepanjang dua abad pertama tarikh Masehi tidak ada usaha yang serius untuk menggumuli masalah-masalah teologis dan filosofis yang berkaitan dengan ajaran Tritunggal. Ditemukan penggunaan formula Bapa, Anak dan Roh Kudus, tetapi tidak ada usaha untuk menjelaskannya secara rinci. Misalnya Yustinus dan Tatian menekankan kesatuan hakikat antara Firman dan Bapa dengan perumpamaan tidak mungkin memisahkan terang dari sumbernya, yakni matahari. Yang menunjukkan bahwa sekalipun Firman dan Bapa itu berbeda, keduanya tidak dapat dipisahkan

Istilah Tritunggal tidak pernah dipergunakan dalam Alkitab. Orang yang pertama menggunakan istilah ini adalah Tertulianus. Menurut Tertulianus, terdapat tiga wujud dari Allah yang Esa. Sekalipun ketiga wujud itu berbeda menurut angka, sehingga dapat dihitung, namun merupakan penyataan dari suatu kekuatan tunggal yang tidak terpisahkan. Sebagai ilustrasi dari persatuan di dalam Ke-Allahan, Tertulianus menunjuk pada persatuan antara akar dan tunasnya., sumber air dengan sungainya, matahari dengan terangnya. Bapa, Anak, dan Roh merupakan zat yang sama, diperluas menjadi tiga perwujudan, namun tidak terbagi. Tertulianus menggunakan istilah Tritunggal berdasarkan apa yang dikemukan dalam 1 Yohanes 5:7. Kata-kata “…Ketiganya adalah satu” menjadi indikasi dari Tritunggal. Istilah Tritunggal dipergunakan Tertulianus dengan pengertian bahwa substansi Allah adalah satu, namun ada tiga Oknum, yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Penjelasan Tertulianus memiliki kelemahan karena ia membedakan Oknum I dan Oknum II dalam derajatNya. Menurut Tertulianus Oknum II, yakni Anak lebih rendah derajatnya dari Oknum I sebagai Bapa. Setelah Tertulianus muncul Origenes yang mengemukakan bahwa bukan hanya Anak yang lebih rendah dari Bapa, tetapi Oknum III, yaitu Roh Kudus lebih rendah dari Anak dan Bapa. Bahkan Arians menyangkali keilahian Anak dan Roh Kudus

Pada akhir abad ke-2 dan permulaan abad ke-3, muncul dua usaha untuk menghasilkan definisi yang lebih tepat tentang hubungan antara Kristus dengan Allah. Pandangan ini disebut Monarkhianisme (harafiah “satu-satunya kekuasaan tertinggi”), karena menekankan keunikan dan persatuan Allah. Usaha yang pertama dikenal dengan pandangan monarkhianisme dinamis, pencetusnya adalah seorang pedagang kulit hitam dari Bizantium yang bernama Theodotus. Ia memperkenalkan pandangan ini di Roma sekitar tahun 190. Theodotus berpendapat bahwa sebelum dibaptis Yesus adalah manusia biasa, walaupun benar-benar saleh. Dan pada saat dibaptis, Roh atau Kristus hinggap diatas-Nya dan Yesus dapat melakukan berbagai mujizat. Dan bagi Theodotus Yesus adalah manusia biasa, diilhami, tetapi tidak didiami oleh Roh Kudus.

Pada parohan kedua abad ke-3, tampil Paulus dari Samosata yang mempertahankan bahwa Firman (Logos) tidak merupakan wujud yang berkepribadian dan mampu hidup sendiri. Hal ini berarti Yesus Kristus bukan Firman. Tapi menurut Paulus dari Samosata, Firman itu merujuk pada perintah dan ketetapan Allah. Allah memerintahkan dan melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya dengan perantaraan manusia yang namanya Yesus. Inilah yang dimaksudkan dengan logos dalam Yohanes 1. Dengan demikian terdapat unsur kesamaan antara Tertulianus dengan Paulus dari Samosata, yaitu kenyataan bahwa Allah hadir secara dinamis di dalam kehidupan manusia yang namanya Yesus, namun sama sekali tidak terdapat kehadiran Allah yang benar-benar nyata di dalam diri Yesus.

Usaha kedua dikenal dengan pandangan monarkhianisme modalis yang berusaha meneguhkan dokrin Tritunggal. Monarkhianisme modalis juga berusaha mempertahankan dokrin kesatuan Allah, tetapi juga mengakui keilahan penuh Yesus Kristus. Menurut pandangan monarkhianisme modalis istilah Bapa menunjuk kepada Ke-Allahan itu sendiri, dan setiap gagasan bahwa Firman atau Anak itu kepribadian yang lain dari Bapa agak sulit diterima oleh golongan ini. Adapun tokoh dari gerakan ini yang menonjol adalah Noetus dari Smirna, yang aktif pada akhir abad ke-2 dan Sabellius yang menulis dan mengajar di bagian awal abad ke-3 dan yang mengembangkan pemikiran dokrin gerakan ini sehingga memperoleh bentuk yang lengkap dan cangkih.

Gagasan pokok dari golongan ini adalah hanya ada satu Ke-Allahan yang dapat disebut dengan berbagai cara sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Istilah-istilah ini tidak menunjukkan kepada pembedaan yang nyata, tetapi sekedar merupakan nama yang dianggap cocok dan dapat digunakan pada saat-saat yang berbeda. Bapa, Anak dan Roh Kudus itu identik, ketiganya merupakan penyataan yang berturut-turut dari Oknum yang sama. Hal ini berarti pemecahan monarkhianisme modalis terhadap paradox ketigaan dan keesaan yang digagaskan bukanlah bahwa Allah adalah tiga Oknum dengan tiga nama, tetapi satu Oknum dengan tiga nama, tiga peranan, atau tiga kegiatan yang berbeda.

Selain itu gagasan lainnya dari modalisme ialah Sang Bapa ikut menderita bersama dengan Kristus, sebab Bapa benar-benar hadir di dalam dan secara pribadi identik dengan Yesus, Sang Anak. Pandangan ini dikenal sebagai Patripassianisme”, dan pandangan ini dianggap sesat karena dianggap bertentangan dengan filsafat Yunani bahwa Allah tidak dapat merasakan penderitaan atau kesakitan.

Pendapat yang beragam dan saling bertentangan ini dianggap mengganggu keberadaan dan pertumbuhan gereja sehingga diabad ke-4 gereja mengadakan sidang dengan tujuan merumuskan rumusan yang benar bagi Tritunggal. Pada siding gereja di Nicea (Tahun 325 Ses M) dibuat kesimpulan bahwa hanya ada satu bukan tiga Allah, dan bahwa Anak dilahirkan secara kekal dari subsatansi Bapa, karena itu Anak sederajat dengan Bapa. Dan pada siding gereja berikutnya tahun 381 di Kontantinopel lebih dipertegas lagi rumusan tentang Oknum Roh Kudus dengan dikemukakan bahwa Roh Kudus juga sederajat dengan Anak dan Bapa.

Pada masa reformasi dan sesudahnya kesalahpamahamn tentang dokrin Tritunggal muncul lagi secara berulang-ulang. Misalnya golongan Arminians demi menegaskan kesatuan Allah, cenderung merendahkan Oknum Anak dan Roh Kudus, dan Oknum Bapa dianggap derajatNya lebih tinggi. Selain itu dari golongan Lutheran juga mengikuti modalisme dengan menganggap keberadaan Bapa, Anak dan Roh Kudus hanyalah model yang berbeda dari Allah yang satu.

Pemahaman tentang hakikat Allah merupakan sumbangan pemikiran Origenes tentang keesaan Tritunggal. Dan pada sidang gereja tahun 325 di Nicea status dogmatis tentang keesaan Allah diterima dengan menggunakan istilah homo-usios (satu hakekat), sehingga bermakna satu hakekat, keberadaan dasar, essens atau substansi.

Salah satu tokoh yang paling kreatif dalam sejarah teologi Kristen adalah Augustinus dalam karyanya De Trinitate, ini merupakan karyanya yang terbesar di mana ia memperkerjakan kecerdasan berpikirnya yang luar biasa untuk memecahkan persoalan Tritunggal. Augustinus lebih menekankan persatuan Allah dari pada ketigaan Allah. Menurut Augustinus Tiga anggota Tritunggal bukanlah OknumOknum yang tersendiri, tetapi setiap Oknum mempunyai hakekat yang identik dengan Oknum yang lain atau dengan substansi ilahi itu sendiri. Oknum-Oknum tersebut berbeda berkenaan dengan hubungan mereka di dalam Ke-Allahan. Dalam De Trinitate analogi yang didasarkan pada kegiatan pikiran disajikan dalam tiga tahap atau tiga Trinitas, yaitu:
  1. Pikiran, pengetahuan tentang dirinya, dan cintanya pada dirinya; 
  2. Daya ingat, pengertian dan kehendak; 
  3. Pikiran yang mengingat Allah, mengetahui Allah dan mengasihi Allah.


Augustinus menarik kesimpulan bahwa manusia secara sadar memusatkan perhatian pada Allah, ia sepenuhnya memperlihatkan gambar Penciptanya.

Dengan demikian dokrin Tritunggal merupakan bagian yang sangat penting dari iman Kristen. Masing-masing dari ketiga Oknum ini harus disembah sebagai Allah Tritunggal. Dokrin tersebut tidak masuk akal dari sudut pandang manusia sehingga tidak seorang akan menciptakannya. Menurut Millard J. Erikson, Orang Kristen tidak menganut dokrin Tritunggal karena dokrin itu nyata dan secara logis kuat dan meyakinkan, tetapi menganutnya sebab Allah telah menyatakan bahwa demikianlah keadaan-Nya. Erikson mengutip pernyataan seseorang demikian: Cobalah menjelaskan, dan anda akan hilang akal; tetapi cobalah mengingkarinya, maka jiwa anda akan hilang.

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Samuel T. Gunawan dikemukakan beberapa pandangan yang keliru tentang Tritunggal atau Trinitas, sebagaai berikut:
  1. Triteisme, yakni pandangan yang menolak keesaan Allah dan percaya pada tiga Allah.
  2. Monarkkianisme, yang menekankan bahwa Allah anak hanyalah merupakan mode lain dari pernyataan Allah Bapa.
  3. Sabellianisme. Sabelius dari Ptolomais yang menyatakan bahwa Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah tiga bentuk eksistensi atau manifestasi dari satu Allah. Dalam pandangan ini, Tritunggal bukan berkaitan dengan natur Allah, tetapi hanya cara Allah menyatakan diriNya.
  4. Arianisme, Arius seorang penatua yang anti Trinitarian dari Alexandria mengajarkan Allah yang kekal yang esa dari Anak yang diperanakkan oleh Bapa, dan karena itu, Anak memiliki permulaan (diciptakan). Jadi Arius mengsubordinasikan anak pada Bapa. Sedangkan Roh Kudus adalah yang pertama diciptakan oleh Anak. Dan Allah Bapa satu-satunya yang sama sekali tidak mempunyai permulaan.
  5. Socinianisme, Socinus pada abad ke enam belas mengajarkan bahwa adalah keliru untuk mempercayai pribadi-pribadi dari Trinitas memiliki satu hakekat yang esa. Paham mengajarkan bahwa hanya ada satu zat yang ilahi yang terdiri hanya satu pribadi. Socinus melakukan penyangkalan terhadap pra eksistensi Anak dan menganggap Anak hanya seorang manusia. Dan ia mendefinisikan Roh Kudus sebagai kebajikan atau tenaga yang mengalir dari Allah kepada manusia.