Kegiatan Belajar 2: Allah Bapa Pencipta
dan Pemelihara
ALLAH SEBAGAI
PENCIPTA

Melalui
kegiatan belajar dua ini, anda akan dibelajarkan tentang karya-karya Allah sebagai
Pencipta sehingga tidak akan pernah ada keraguan untuk meyakini bahwa Allah ada
pribadi yang memulai alam semesta, dan penyataan yang paling jelas dari
pengajaran Yesus yang dicatat dalam Injil-Injil Sinoptis terutama yang terdapat
dalam Markus 13:19.
a. Allah menciptakan
langit dan bumi
Kalimat
pembukaan di Alkitab “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej.
1:1) mengisyaratkan bahwa karya penciptaan Allah bersifat langsung dan segera,
yaitu terjadi pada permulaan zaman dan alam semesta diciptakan Allah secara ex-nihilio
yang berarti diciptakan tanpa memakai bahan yang sudah ada sebelumnya. Dan pada
Kej. 2:7 dikisahkan Allah menciptakan manusia dari debu tanah dan menghembuskan
napas hidup ke dalam hidungnya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia diciptakan
Allah secara tidak langsung. Hodge mengatakan, ketika membandingkan penciptaan
langsung dan tidak langsung, maka penciptaan langsung terjadi seketika
sedangkan penciptaan tidak langsung terjadi secara bertahap.
Penciptaan
langsung bukan hanya langit, tetapi juga malaikat-malaikat yang menghuni sorga
(Ay. 38:7; Neh. 9:6). Jangkauan universal dari karya ciptaan Allah ditegaskan
dalam Efesus 3:9; Kolose 1:16. Selain itu, beberapa perincian dari berbagai
bagian ciptaan menjelaskan bahwa segala sesuatu tercakup: langit dengan segala
isinya, dan bumi dengan segala isinya, dan laut dengan segala isinya (Why.
10:6).
Melalui
kisah penciptaan langit dan bumi, umat Israel mengklaim bahwa Pencipta itu tak
lain adalah Allah yang membebaskannya dari Mesir dan mengikat perjanjian dengan
mereka. Dengan kata lain Allah sebagai Pencipta adalah sebuah bentuk pengakuan
iman umat Israel. Pengakuan ini dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni pertama,
Allah dan bukan dewa-dewi agama lain yang menciptakan segala sesuatu dan
menganugerahkan hidup dan berkat. Kedua, Allah bukanlah Allah umat
Israel dan gereja saja, melainkan juga alam semesta dan umat manusia
seluruhnya. Karena Allah menjadikan dunia, memberikan hidup kepada sekalian
makhluk dan memberkatinya agar berdamai sejahtera. Selain itu umat Allah
dipanggil untuk menjadi berkat bagi segala kaum di muka bumi serta makhluk
ciptaan lainnya (bdg. Kej. 12:3).
Kedua
pandangan ini saling melengkapi. Karena Allah menciptakan demi penyelamatan,
dan orang yang percaya kepada-Nya harus melawan setiap penyalahgunaan kuasa
yang menindas makhluk yang lemah. Selain itu orang yang percaya kepada-Nya
harus menolak dalil bahwa agama hanya berarti dalam hidup pribadi. Karena Allah
memberkati seluruh ciptaan-Nya untuk menjadi berkat di dalam kehidupan
bermasyarakat.
Penciptaan
merupakan karya Allah Tritunggal. Dalam Perjanjian Lama kisah penciptaan hanya
mengaitkannya dengan Allah, bukan dengan Bapa, Anak dan Roh Kudus. Kerena
perbedaan dalam Tritunggal belum sepenuhnya dinyatakan (Kej. 1:1; Mzm. 96:5;
Yes. 37:16; 44:24; Yer. 10:11-12). Tetapi dalam Perjanjian Baru dijumpai
perbedaan. Misalnya dalam 1 Korintus 8:6 Paulus membahas tentang boleh tidaknya
orang memakan makanan yang sudah dipersembahkan kepada berhala. Untuk membahas
hal ini Paulus memakai penjelasan beberapa ayat Perjanjian Lama seperti Mazmur
96:5; Yesaya 37:16; dan Yeremia 10:11-12. Inti dari ayat-ayat ini adalah bahwa
Allah sejati telah menciptakan segala sesuatu yang ada, berhala-berhala tidak
mampu menciptakan apa-apa.
Menurut
Millard Erikson ada maksud tertentu dari Allah menciptakan langit dan bumi
dengan segala isinya. Secara khusus maksud Allah menciptakan langit dan bumi
adalah agar seluruh ciptaan-Nya memuliakan Allah dengan melakukan kehendak-Nya.
Hal ini dilukiskan dalam Mazmur 19:2, Ciptaan yang tidak bernyawa memuliakan
Allah, makhluk-makhluk hidup menaati rencana Allah bagi kehidupan mereka.
Setiap ciptaan Allah mampu memenuhi maksud Allah baginya, namun setiap ciptaan
mematuhi Allah dengan caranya sendiri. Ciptaan yang tidak bernyawa menaati
Allah secara mekanis, yaitu dengan menaati hokumhukum alam yang mengatur dunia
fisik. Ciptaan yang hidup menaati Allah secara naluriah, yakni dengan
menanggapi dorongan-dorongan yang ada di dalam dirinya. Hanya manusia saja yang
menaati Allah dengan sadar dan rela, sehingga dapat memuliakan Allah dengan
sempurna.
Selain
itu Henry C. Thiessen, Allah menciptakan alam semesta untuk menerima kemuliaan.
Alkitab memerintahkan, “Berilah kepada Tuhan kemuliaan nama-Nya” (1 Taw.
16:29), juga dapat dibacakan dalam Mazmur 29:1-2; Yeremia 13:16. Tanggung jawab
gereja juga adalah memuliakan Allah (Rom. 15:6,9; 1 Kor. 6:20, 2 Kor. 1:20, 1
Pet. 4:16). Rasul Paulus dalam 1 Korintus 10:31 mengatakan “Jika engkau makan
atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukan
semua itu untuk kemuliaan Tuhan.
b. Makna teologis
dokrin Penciptaan
Ada beberapa makna
teologis yang dapat dipelajari dari dokrin Penciptaan menurut Erikson, yakni
sebagai berikut:
- Merupakan pernyataan bahwa segala sesuatu yang bukan Allah memperoleh eksistensinya dari Allah. Dengan kata lain, ide bahwa ada suatu realitas tertinggi selain Allah ditolak, tidak ada tempat sama sekali bagi pandangan dualisme.
- Tindakan penciptaan Allah yang pertama bersifat unik dan berbeda dengan tindakan-tindakan kreatif manusia, yang memerlukan pembuatan pola dengan memakai bahan yang sudah ada. Satu-satunya keterbatasan Allah ialah sifat dan ketetapan-Nya. Allah tidak memerlukan bahan, karenanya maksud-maksud Allah tidaklah dibatasi oleh sifat bahan yang harus digunakan-Nya untuk berkarya.
- Dokrin penciptaan juga berarti bahwa tidak ada hasil ciptaan yang bersifat jahat. Segala sesuatu bersumber dari Allah, dan kisah penciptaan mengatakan sebanyak lima kali bahwa Ia melihat semuanya itu baik (Kej. 1:10,12,18,21,25). Dan ketika Allah menciptakan manusia, Alkitab mengatakan bahwa Allah melihat segala yang telah dijadikan-Nya dan semuanya sungguh amat baik (ay. 31). Dengan demikian tidak ada yang jahar dari hasil karya Allah.Dan Allah tidak dapat disalahkan atas adanya dosa dan kejahatan di dunia.
- Dokrin penciptaan juga menonjolkan tanggung jawab manusia. Manusia tidak dapat membenarkan tindakan kejahatannya dengan mempersalahkan bidang kejahatan materi. Dosa manusia timbul karena manusia menggunakan kebebasannya dengan tidak bertanggung jawab.
- Dokrin penciptaan menjaga agar tidak terjadi penurunan nilai penjelmaan Kristus. Selain itu menahan orang Kristen untuk tidak ikut menganut asketisisme yang melihat fisik adalah jahat sehingga membuat orang menghindari kepuasan tubuh jasmani serta segala bentuk kepuasaan badani lainnya. Dan bagi kaum asketisisme karena Roh lebih ilahi maka merupakan alam yang tepat bagi orang luhur dan saleh. Dengan demikian kegiatan meditasi sangat diutamakan, dan puasa ketat serta hidup bertarak sebagai syarat hidup rohani yang benar. Tetapi dokrin penciptaan menegaskan bahwa semua ciptaan Allah itu baik adanya, sehingga dapat ditebus. Keselamatan dan kerohanian harus ditemukan bukan dengan cara menjauhinya dari dunia materi, tetapi justru dengan menyucikannya.
- Segala sesuatu yang diciptakan dari Allah semuanya saling berhubungan. Manusia dan benda tidak bernyawa berasal dari Allah, maka manusia pada dasarnya satu dengan alam. Seluruh ciptaan adalah milik Allah dan penting bagi-Nya. Yesus dalam pengajaran-Nya juga menjelaskan bahwa Allah mengasihi dan memperhatikan seluruh ciptaan-Nya (Mat. 6:26-30; 10:29).
- Dokrin penciptaan menunjukkan adanya berbagai keterbatasan hakiki dari makhluk ciptaan. Tidak ada satu pun makhluk ciptaan yang dapat disejajarkan dengan Allah. Tidak ada dasar bagi penyembahan terhadap berhala, penyembahan terhadap alam atau pemujaan terhadap manusia. Alam dan manusia lebih rendah dari Allah.
G.C.
Van Niftrik dan B.J. Boland mengemukakan bahwa ketika mengaku bahwa Allah
adalah Sang Pencipta langit dan bumi, hal ini berarti percaya kepada hubungan
kasih yang diadakan oleh Allah antara Dia dengan dunia dan manusia. Alasannya
adalah kata penciptaan mengemukakan kepada manusia, bahwa Allah telah
mengadakan suatu objek di luar diri-Nya sendiri, yaitu dunia manusia untuk
mewujudkan kasih-Nya. Allah itu bukanlah Nuda essential (Keberadaan yang
bugil), yang kekal tak bergerak, melainkan Allah yang hidup, yang bertindak,
yang mengasihi. Dalam perbuatan-perbuatan kasih-Nya, Ia bertindak keluar dengan
mengadakan suatu objek bagi kasih-Nya. Oleh perbuatan kasih Allah, dunia dan
manusia memperoleh keberadaan yang bermakna.
Selanjutnya
G.C. Van Niftrik dan B.J. Boland juga mengetengahkan bahwa jika mengaku Allah
sebagai Pencipta langit dan bumi, maka kita mengaku bahwa Allah merdeka dan
berdaulat atas dunia dan manusia. Hal ini berarti kita mengakui pandangan
Alkitab tentang perbedaan dan jarak antara Allah dengan manusia (Kej. 18:27;
Pkh. 5:1; Yes. 6:5; Ayb. 42:5-6; Mzm. 8:4). Mengakui kemerdekaan Allah terhadap
apa yang dijadikan-Nya berarti juga mengakui bahwa dunia dan manusia sama
sekali bergantung kepada Allah (Mzm. 145:15; 104:27-30). Kemerdekaan Allah Sang
Pencipta juga menekankan adanya perbedaan antara Allah dengan para ilah. Para
ilah memerlukan daerah, wilayah manusia untuk menjadikannya ilah, sedangkan
Sang Pencipta memerintah atas semesta.
Selain
itu menurut G.C. Van Niftrik dan B.J. Boland dengan kisah tentang penciptaan
dunia, maka Allah ditempatkan pada permulaan segala sesuatu yang ada.
Penciptaan itu digambarkan sebagai suatu perbuatan Allah pada suatu saat tertentu.
Hal ini mengandung suatu kebenaran teologis sebagai berikut:
hubungan
antara Allah dengan dunia dan manusia adalah satu hubungan yang sama sekali
datang dari pihak Allah dan semata-mata timbul dari kehendak dan perbuatan
Allah yang merdeka dan berdaulat. Alkitab pun melanjutkan sejarah keselamatan
dengan memperlihatkan bahwa Allah terus menerus memperdulikan dunia ini. Hal
ini menyiratkan hubungan yang dimaksud oleh kata-kata “khalik/Pencipta” dan
“makhluk” yakni kesetiaan Allah. Kesetiaan Allah Sang Pencipta adalah kesetiaan
terhadap dunia dan manusia yang berdosa. Hal ini berarti jika berbicara tentang
penciptaan, maka memberitakan tentang hubungan yang aktual antara Allah dengan
dunia dan manusia. Tidak boleh berbicara tentang Allah Sang Pencipta tanpa
terus menerusnya Ia mempedulikan dunia ini, tentang hubungan-Nya yang tetap
dengan dunia dan manusia.
PEMELIHARAAN ALLAH
Pemeliharaan
Allah merupakan hubungan berkesinambungan Allah dengan ciptaan-Nya, yakni
tindakan berkesinambungan Allah untuk melestarikan keberadaan ciptaan-Nya serta
menuntun ciptaan-Nya dengan tujuan yang Allah maksudkan bagi ciptaan-Nya.
Karena itu pemeliharaan Allah penting untuk sikap kehidupan Kristen, yakni
sikap yang mampu hidup dalam kepastian bahwa Allah hadir dan aktif dalam kehidupan
manusia, berada dalam perlindungan-Nya serta mendengar dan menanggapi doa-doa
yang dinaikkan pada-Nya. Pemeliharaan Allah dapat ditinjau dari dua aspek,
yakni tindakan Allah dalam melestarikan keberadaan ciptaan-Nya dengan
memelihara dan menopang ciptaan-Nya. Aspek yang lain adalah tindakan Allah
untuk menuntun dan mengarahkan rangkaian peristiwa sedemikian rupa sehingga
memenuhi maksud-maksud-Nya.
a. Pemeliharaan
Sebagai Pelestarian
Pelestarian
adalah tindakan Allah yang mempertahankan keberadaan ciptaanNya, yang meliputi
tindakan Allah untuk melindungi ciptaan-Nya dari celaka da kehancuran, serta tindakan-Nya
dalam menyediakan berbagai kebutuhan dari anggota-anggota ciptaan-Nya. Nehemia
9:6, Kolose 1:17, dan Ibrani 1:3 menolak pandangan bahwa setiap bagian dari
ciptaan Allah dapat berdiri sendiri, dan menolak bahwa karya Allah berakhir
dengan penciptaan. Tetapi Alkitab mengajarkan bahwa permulaan dan kelanjutan
segala sesuatu yang ada merupakan masalah kehendak dan tindakan Allah.
Tindakan
pelestarian Allah terhadap ciptaan-Nya terutama nyata dalam pelestarian Israel
sebagai suatu bangsa. Tangan Allah ada saat menyediakan makanan bagi umat-Nya
saat bencana kelaparan dengan membawa Yusuf terlebih dahulu ke Mesir untuk
menyediakan makanan bagi umat-Nya. Kisah bangsa Israel keluar dari tanah Mesir
yang diawali dengan selamatnya Musa dari pembunuhan bayi laki-laki Israel oleh
Firaun sampai bangsa Israel dapat menyeberangi Laut Merah, menerima makanan
yang ajaib terutama manna, diberikan kemenangan dalam pertempuran adalah juga
cara Allah untuk melestarikan umat-Nya. Pelestarian Allah juga terus berlanjut melalui
kisah Zadrack, Mesakh dan Obednego dalam kitab Daniel.
Yesus
juga telah memberikan ajaran yang jelas tentang pelestarian yang dilakukan oleh
Allah dalam ajarannya tentang hal kekuatiran (Mat. 6:26; 30-33), di mana Yesus
memusatkan perhatian para murid pada perlindungan Allah kepada manusia.
Penekanan penting dalam ajaran Yesus dan Paulus adalah tidak terpisahkannya
anak-anak Allah dari kasih serta pemeliharaan-Nya. Bahkan dalam Roma 8: 35-39,
Paulus sangat menekankan begitu besar kasih Allah yang diwujudkan dalam
pemeliharaan-Nya bagi umat ciptaan-Nya dengan mengungkapkan apapun tidak akan
dapat memisahkan umat-Nya dari kasih-Nya.Dengan demikian baik Yesus maupun
Paulus menekankan bahwa tidak ada bahaya jasmaniah maupun rohani yang perlu
ditakuti oleh ciptaan-Nya, karena ada Allah yang melindungi. Pemeliharaan, perlindungan,
serta kelepasan dari Allah akan memungkinkan manusia menanggung pencobaan (1
Kor. 10;13).
Hal
lain dari tindakan Allah melestarikan ciptaan-Nya serta membekali dengan kebutuhan
adalah bahwa orang percaya tidak dikecualikan dari bahaya dan pencobaan, namun
terpelihara dalam keduanya. Allah tidak berjanji bahwa penganiayaan dan penderitaan
tidak akan menimpa ciptaan-Nya, tetapi hal itu tidak akan menang atas
ciptaan-Nya. Yesus berbicara tentang ini dalam Matius 24:15-31 dan rasul Petrus
dalam 1 Petrus 1:6; 4:12. Tetapi yang diminta dari Allah adalah tetap bersukacita
dalam pencobaan karena pengalaman tersebut memungkinkan ciptaanNya ikut
merasakan penderitaan Kristus (4:13), serta membuktikan kesungguhan iman
pada-Nya (1:7). Selain pemeliharaan Allah terus berlangsung kepada umat-Nya, pemazmur
menekankan karya pelestarian Allah itu juga berlangsung di seluruh alam (Mzm.
104: 5,10,13,20-21,24-30; 5:10; 37:10). Allah bekerja melalui proses-proses alam
untuk menyediakan kebutuhan makhluk ciptaan-Nya.
Para
penulis Alkitab memiliki keyakinan yang teguh tentang pelestarian Allah dengan
menggambarkan Tuhan sebagai tempat perlindungan dan kubu pertahanan (Mzm. 91),
dan Yesus juga mengajarkan para murid-Nya untuk tidak takut kepada manusia yang
hanya dapat membunuh tubuh, tetapi tidak dapat membunuh jiwa (Mat. 10;28).
Penulis kitab Ibrani pun menekankan bahwa orang percaya tidak perlu takut akan
maut, karena maut tidak akan memisahkannya dari kasih Allah (Ibr. 9:27).
Dengan
demikian karya pemeliharaan Allah sebagai pelestarian oleh Allah mengajarkan
kepada orang percaya untuk yakin akan keteraturan dunia yang diciptakan Allah.
Keyakinan ini bukanlah pada dasar realitas yang bersifat materi atau impersonal,
tetapi pada satu Oknum yang bijaksana, baik dan mempunyai maksud tertentu yang
terus menerus menghendaki kelestarian ciptaan-Nya.
b. Tujuan Tindakan
Pemeliharaan
Henry C. Thiessen mengemukakan beberapa
tujuan dari tindakan pemeliharaan Allah adalah sebagai berikut:
- Allah memelihara dunia dengan tujuan untuk membahagiakan makhluk ciptaanNya;
- Allah memelihara dunia dengan tujuan mengembangkan mental dan moral umat manusia.
- Menyelamatkan dan mempersiapkan suatu umat milik-Nya sendiri. Allah memilih Israel agar mereka menjadi umat-Nya (Kel. 19:5-6), dan Ia juga telah memanggil gereja dengan tujuan yang sama (Tit. 2:14; 1 Pet. 2:9).
- Tujuan utama pemeliharaan-Nya ialah kemuliaan-Nya sendiri. Allah memelihara dan memerintah dengan tujuan menunjukkan kesempurnaan-Nya, kesucian-Nya dan keadilan-Nya.
c.
Sarana-Sarana yang
Dipakai dalam Pelaksanaan Pemeliharaan
Allah
memakai hukum-hukum alam dalam perkara-perkara lahiriah, misalnya dalam
menetapkan musim-musim dan memberikan kepastian tentang adanya makanan (Kej.
8:22), memberikan manusia naluri penyelamatan diri dan rasa tanggung jawab
moral (Rm. 1:26; 2:15). Kadang Ia menambahkan hukum alam ini dengan mengadakan
mujizat (Kel. 14:21-31). Namun kadang juga Allah mengadakan sesuatu dengan
mengucapkan firman-Nya yang berkuasa (Mzm.33:9), dan jika si jahat akan datang
untuk memerintah dunia, maka Kristus akan tampil untuk menghancurkan dia dengan
firman-Nya yang berkuasa (2 Tes. 2:8; Why. 19:20-21)
Selain
itu, untuk perkara-perkara batiniah, Allah memakai berbagai sarana, yakni (1)
Ia memakai firman-Nya (Yoh. 1:7-8; Yes. 8:20; Kol. 3:16), (2) Allah menghimbau
kepada akal manusia dalam hal menyelesaikan persoalan-persoalan mereka (Kis.
6:2). (3) Allah memakai himbauan, Ia telah menetapkan pelayanan hamba-hamba-Nya
untuk mengajar dan mengajak umat-Nya untuk memercayai kebenaran (Yer. 7:13; 44:4,
Zak. 7:7; Kis. 17:30). (4) Allah memakai perasaan batin yang mengekang dan
menahan (Kis. 16:6-7). (5) Allah memakai keadaan-keadaan yang nampak (1 Kor.
16:9). (6) Allah mencondongkan hati manusia ke arah tertentu (1 Raja. 8:58; Mzm
119:36). Dan dalam beberapa tindakan pemeliharaan, Allah memakai wakil-wakil
khusus, misalnya para malaikat dipakai dalam pelaksanaan pemerintahan-Nya yang
lahirian (2 Raja. 19:35; Dan 6:22), dan Allah menggunakan Roh Kudus dalam
pemerintahan yang batiniah dan rohaniah (Luk. 4:1; Yoh. 16:7-15).
d. Teori-Teori Yang
Menentang Ajaran Tindakan Pemeliharaan
Ajaran
tentang pemeliharaan Allah selain diterima oleh orang percaya, tetapi juga ada
teori yang menolaknya, yakni sebagai berikut:
- Naturalisme. Teori ini menganggap bahwa alam merupakan seluruh realitas yang ada. Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta adalah hasil kerjanya hukum-hukum alam. Kebahagian manusia serta kesempatan untuk berhasil dalam hidup bergantung pada pengetahuan manusia serta kerja sama dengan hukum-hukum ini.
- Fatalisme. Teori ini menganggap bahwa semua peristiwa ditentukan oleh nasib, dan bukan oleh sebab-sebab alamiah, dan bahwa manusia tidak mampu mengubah jalannya peristiwa-peristiwa yang sudah ditetapkan nasibnya.
- Panteisme. Teori ini menyatakan bahwa kehendak itu tidak bebas dan segala sesuatu yang ada tanpa kecuali mempunyai sebab, maka panteisme tidak memiliki ajaran tentang pemeliharaan. Selain itu panteisme menghancurkan semua kemungkinan adanya moralitas yang sejati, dan menyangkal kebebasan manusia.
ALLAH SEBAGAI BAPA.
Kebapakan
Allah adalah ajaran yang paling khas dalam Perjanjian Baru dan khususnya dalam
ajaran Yesus. Ajaran ini muncul pada masa orang-orang menyembah berhala dan
beribadah kepada dewa-dewanya dalam suasana ketakutan. Dan ajaran Allah sebagai
Bapa hadir memberikan unsur kemesraan ke dalam hubungan manusia dengan Allah
yang tidak ada bandingannya dalam dunia kafir. Ajaran Yesus tentang Allah
sebagai Bapa dipahami sebagai Bapa umat-Nya.
Dalam
Perjanjian Lama, Allah dianggap Bapa orang Israel dalam pengertiannya sebagai
bangsa, bukan sebagai pribadi. Namun menurut Donald Guthrie gagasan kebapakan
dalam hubungannya dengan suatu kumpulan orang tidak menghilangkan gagasan
kebapakan dalam hubungan secara pribadi, tetapi justru merupakan persiapan bagi
perkembangan gagasan secara penuh dalam Perjanjian Baru.
Dalam
Perjanjian Baru dikemukakan 3 hal mengenai kebapakan Allah, yakni Bapa Yesus,
Bapa murid-murid Yesus dan Bapa dari semua ciptaan-Nya. Dan hubungan Bapa anak
hampir seluruhnya ditujukan bagi orang-orang percaya. Contoh yang paling
terkenal yang memperlihatkan Allah sebagai Bapa bagi muridmurid-Nya ditunjukkan
oleh Yesus dalam doa Bapa kami. Kata Bapa dalam doa ini dikiaskan kepada Allah.
Sebagaimana seorang bapa kepada anaknya, demikian pul Allah. Allah sebagai Bapa
menyelenggarakan segala-galanya, menjaga segala sesuatu, mengatur dan
memerintah atas semuanya dan sekali-kali menghukum jika ada yang salah.
Ungkapan
Allah Bapa yang terkandung dalam Pengakuan Iman Rasuli bukanlah melukiskan
manusia dengan sang Pencipta, tetapi menunjuk kepada hakekat Alalh itu sendiri.
Di dalam hakikat-Nya sendiri dan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya
Allah adalah Bapa. Bagaimana mengaitkan Allah sebagai Bapa dalam kehidupan
orang percaya?. G.J van Niftrik dan B.J. Boland menjelaskan sebagai berikut:
Pertama: Apabila
Allah disebut Bapa, dan Yesus Kristus digelar Anak-Nya, maka yang dimaksudkan
adalah bahwa ada suatu hubungan dan nisbah yang sangat istimewa dan eksklusif.
Yang dimaksudkan dengan eksklusif adalah suatu hubungan dan nisbah yang tidak
dapat dibandingkan dengan hubungan antar manusia sendiri, dan yang berlainan
juga dari hubungan antara Allah dengan manusia pada umumnya. Dan hubungan yang
istimewa dari Allah kepada Yesus Kristus yang disebut “kebapaan” Allah
sedangkan hubungan yang istimewa dari Yesus Kristus kepada Allah disebut
“keanakan” Yesus Kristus. Hubungan yang eksklusif antara Allah sebagai Bapa
dengan Yesus diperjelas Yesus melalui perkataan “Semua itu diserahkan kepadaKu
oleh BapaKu dan tidak ada seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang
kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya. (Mat. 11:27).
Jika dikaitkan
dengan ungkapan Tritunggal, maka perhubungan yang eksklusif antara Allah Bapa
dengan Yesus Kristus dapat disebut suatu Dwi-Tunggal. Maksudnya apabila Allah
disebut Bapanya Yesus Kristus, Anak-Nya, maka hal ini berarti:
- Bahwa seakan-akan ada jamak di dalam hakekat Allah yang esa sehingga harus berbicara tentang dua cara berada, yakni Allah Bapa dan Anak Allah.
- Bahwa ada suatu kesamaan hakikat bahkan keesaan hakikat sehingga Bapa dan Yesus bukannya dua Tuhan melainkan sungguh adalah satu dan esa. Aku dan Bapa adalah satu (Yoh. 10:30).
Berbicara tentang
Bapa dengan Anak-Nya Yesus Kristus pada satu pihak bahwa Allah bapa merupakan
asal untuk Anak-Nya, sedangakn Allah Bapa dan AnakNya bersama-sama merupakan
asal untuk Roh Kudus. Namun di pihak lain asal itu tidak terletak dalam waktu
dan sejarah tapi bahwa Allah dari kekal.
Kedua: Jika
berbicara tentang Allah sebagai Bapa kita, Bapa Anak-Anak-Nya, maka harus
diselidiki apa maksudnya menurut Alkitab. Dalam Matius 6:26-33, Yesus mengajarkan
para murid-Nya untuk tidak kuatir akan hidup ini, karena para murid jauh lebih
berarti dari burung-burung. Burung-burung tergolong ke dalam dunia binatang,
tetapi para murid di dalam Kerajaan Allah. Kerajaan Allah datang kepada kita
dalam diri Yesus Kristus. Injil tentang Kerajaan Allah itu Injil tentang Yesus
Kristus. Jadi, ketika Yesus berbicara tentang Allah sebagai Bapa Kamu, maka
perkataan itu bukan berlaku bagi semua manusia atau segala makhluk, melainkan
bagi mereka yang telah menjawab ya kepada Yesus Kristus (Kol 1:11-14). Hal ini
mengisyaratkan bahwa menjadi anak-anak Allah terjadi oleh panggilan dan
pilihan, dan merupakan anugerah Allah yang tidak layak kita terima (Hos. 11:1;
Rm.8:15; Rm. 6:4-11). Selain itu, pengertian anak di dalam Alkitab bukan hanya
dalam pengertian biologis, namun anak adalah dia yang bersikap benar kepada
bapa dan hidup dalam hubungan yang benar dengan bapa.